Selasa, 05 Desember 2017

Vica Nahdiyatus Suaiba

REPRESENTASI PENGETAHUAN SECARA VISUAL
Vica Nahdiyatus Suaiba/ 16410092
Perpektif Historis
Kita dapat mengenali tiga era historis dalam sejarah perumpamaan mental: era filosofis, era pengukuran, dan era kognitif.
Selama era filosofis, bayangan – bayangan mental dipandang sebagai bahan baku utama dalam pembentukan pikiran, dan terkadang dipercaya sebagai elemen – elemen pemikiran. Topic tersebut sangat diminati oleh para filsuf Yunani, terutama Aristoteles dan Plato, dan selanjutnya para filsuf empiric Inggris, terutama John Locke, George Barkeley, David Hume, dan David Hartley.
Era pengukuran perumpamaan mental diawali oleh ilmuwan Inggris, Sir Francis Galton (1880, 1883/1907). Beliau membagikan kuesioner kepada 100 rekan – rekannya. Separuh dari responden tersebut adalah orang – orang kenamaan dalam bidang ilmu pengetahuan. Galton meminta para respondennya mengingat pemandangan – pemandangan yang mereka lihat saat sarapan pagi, dan selanjutnya menjawab pertanyaan – pertanyaan mengenai gambaran yang mereka alami.  
Hasil penelitian tersebut mengejutkan Galton karena kelompok responden yang terdiri dari para tokoh ilmu pengetahuan “mengajukan protes bahwa mereka tidak mengenal perumpaan mental”. Sedangkan para responden yang berasal dari masyarakat awam “melaporkan bahwa gambaran yang mereka lihat sama jernihnya dengan pengalaman perseptual yang sesungguhnya”. Pengujian imagery menarik minat sejumlah peneliti, seperti Titchener (1909) dan Betts (1990). Dalam penelitian mereka, para partisipan diminta menilai kemampuan mereka memvisualisasikan suatu objek seperti apel, kontur sebuah wajah, atau matahari yang terbenam di ufuk horizon. Hingga pada akhirnya minat dalam penyelidikan terhadap imagery dengan cepat meredup seiring runtuhnya mazhab instropektum dan behaviorisme.
Penelitian imagery dihidupkan kembali pada akhir era 1960-an, namun dalam dua kubu. Kubu yang pertama berkaitan dengan asesmen imagery secara kualitatif(Sheehan, 1967) dan penggunaan imagery sebagai sarana terapeutik. Kubu kedua juga berhubungan dengan asesmen imagery, namun lebih condong ke sisi teoritik. Yang dipelopori oleh penelitian Bugelski (1970) dan Paivio (1969).
Teori – teori Representasi Pengetahuan secara Visual
Studi terhadap representasi pengetahuan secara visual memunculkan pertanyaan yang lebih besar mengenai bagaimana infromasi visual disimpan dan diambil dari memori.
Teori – teori terkni mengenai perumpamaan mental berfokus pada tiga hipotesis sentral:
1.  Hipotesis Penyandian – Ganda (dual-coding hypothesis) , yakni hipotesis mengenai keberadaan dua sandi dan dua sistem penyimpanan – sandi dan sistem penyimpanan pertama bersifat khayalan (imaginal) dan lainnya bersifat verbal. Hipotesis ini juga menyatakan bahwa informasi dapat disandikan dan disimpan secara imajinal secara verbal, atau keduanya. Hipotesis ini terutama didapati dalam karya Paivio.
2.  Hipotesis Proposisional – konseptual (conceptual-propositional hypothesis) , yang mengajukan gagasan bahwa informasi visual dan verbal direpresentasikan dalam bentuk proposisi-proposisi abstrak mengenai objek – objek beserta hubungan – hubungannya. Hipotesis ini terutama didapati. Hipotesis ini terutama didapati dalam karya Anderson dan Bower, dan juga karya Pylshyn.
3.  Hipotesis Ekuivalensi-fungsional (functional-equivalency hypothesis), yang mengajukan gagasan bahwa imagery dan persepsi melibatkan proses – proses yang serupa. Hipotesis ini terutama didapati dalam karya Shepard dan Kosslyn.
Dukungan Neurosains Kognitif
Studi – studi akivitas otak menunjukkan bahwa area – area otak yang berbeda terlibat dalam tugas – tugas kognitif berbeda. Tugas – tugas pembayangan visual (visual imagery tasks) dan penglihatan (vision) tampaknya melibatkan proses di lokasi – lokasi yang serupa di dalam otak. Tugas – tugas pembayangan visual, yang memerlukan pengetahuan asosiatif, tampaknya mengaktifkan bagian – bagian otak yang terkait dengan memori dan penglihatan. Tugas – tugas imagery (yang merupakan tugas – tugas top-down) memerlukan energy pemrosesan yang lebih besar dibandingkan tugas – tugas perseptual (yang merupakan tugas bottom-up) Tugas – tugas visual misalnya,, identifikasi warna, perbandingan ukuran, dan perbandingan bentuk suatu benda. Sedangkan tugas – tugas pembayangan spasial misalnya: rotasi bentuk huruf, rotasi bentuk tiga dimensi, dan pemindaian mental.
Farah dan rekan – rekannya bekerja sama dengan seorang pendeta berusa 36 tahun (L.H.) yang, saat berusia 18 tahun, mengalami cedera yang seius di kepalanya akibat kecelakaan mobil. Pembedahan (dan pemindaian CT) menunjukkan bahwa bagian – bagian otak yang mengalami cedera meliputi kedua region oksipital-temporal, lobus temporal kanan, dan lobus frontal inferior kanan. Meskipun L.H. mengalami kesembuhan yang menakjubkan dan setelahnya tampak normal, ia mengalami gangguan rekognisi visual yang serius. Contoh, ia tidak mampu mengenali istri atau anak – anaknya kecuali mereka mengenakan pakaian yang mencolok. Kondisi tersebut disebut visual agnosia.
Representasi visual tidak terbatas hanya pada modalitas visual (contoh: rotasi mental, yang dianggap sebagai citra spasial, bukan visual). Representasi visual tidak hanya pada modalitas visual (contoh: penamaan warna sebuah objek sehari – hari, seperti sebuah bola).
Sinestesia: Suara yang Dihasilkan Warna

adalah suatu kondisi ketika sensasi – sensasi dari sebuah modalitas perseptual (misalkan penglihatan) dialami juga dalam modalitas yang lain (seperti pendengaran) orang dapat mengecap bentuk, meraba bunyi, atau melihat angka atau huruf dalam warna. Sinestesia tampaknya dikendalikan oleh peraturan (rule-governed) , tidak terjadi secara acak. Sebagai contoh, terdapat hubungan positif antara peningkatan pola titinada (pitch) suatu suara dan pengingkatan kecermelangan (brightness) (sebuah bersin cenderung “lebih terang: dibandingan sebuah batuk).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar