Selasa, 05 Desember 2017

Rizka Amalia

BAHASA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KOGNITIF MANUSIA
          Bahasa meliputi suatu sistem simbol yang kita gunakan untuk berkomunikasi satu sama lain. Pada manusia, bahasa ditandai oleh daya cipta manusia yang tidak pernah habis dan adanya sebuah sistem aturan, yang dimaksud daya cipta yang tidak pernah habis ialah suatu kemampuan individu untuk menciptakan sebuah kalimat bermakna yang tidak pernah berhenti dengan menggunakan seperangkat kata dan aturan yang terbatas, yang menjadikan bahasa sebagai upaya yang sangat kreatif.
Linguistik adalah ilmu yang mempelajari tentang bahasa, dengan topik pembelajaran mengenai struktur bahasa dan berfokus pada pendeskripsian suara-suara, makna-makna dan tata bahasa dalam percakapan. Para psikolog umumnya mempelajari cara manusia menggunakan bahasa. Ilmu yang menggabungkan pendekatan tersebut (yakni psikologi dan linguistik) disebut psikolinguistik.
Linguistic sendiri memiliki banyak hierarki, yang diantaranya adalah :
1.     Fenom (phoneme) adalah unit dasar ahasa lisan yang saat digunakan sebagai sebuah unit tunggal, tidak memiliki makna sama sekali. Fenom dihasilkan oleh koordinasi yang rumit dari paru-paru, pita suara, larynx, bibir, lidah dan gigi.
2.    Morfem adalah unit-unit terkecil yang memiliki makna, marfem (morfheme) dapat berupa kata-kata atau bagian-bagian kata seperti prefik (awalan), sufiks(akhiran), atau ahasa ahasa-sufiks. Morfem ini terdapat morfem bebas atau morfen terikat. Morfen bebas adalah unit-unti kata yang berdiri secara mandiri (seperti, color, orange, dog), sementara morfem terikat adalah bagian-bagian kata (colorless, oranges driving).
3.    Morfologi (morphology) adalah studi mengenai stuktur kata-kata. Bahasa inggris memiliki lebih dari 100.000 kata yang dibentuk dari kombinasi-kombinasi morfem, namun komposisi morfem yang sedemikian luasnya tersebut diatur dengan ketat oleh batasan-batasan lingustik.
4.    Sintaksis (syntax) adalah peraturan-peraturan yang mengendalikan kombinasi kata-kata dalam frase dan kalimat. Jumlah variasi kata-kata yang dapat dihasilkan manusia hanya dibatasi oleh waktu dan imajinasi.
Tahun 1861, Paul Broca menemukan sebuah fakta bahwa cedera di bagian lobus frontalis kiri otak seseorang (area ini kemudian dikenal dengan nama area broca) dapat mengakibatkan hilangnya kemampuan berbicara. Tahun 1875, Carl Wernicke menemukan fakta lain bahwa cedera pada lobus temporalis kiri berpengaruh kepada pemrosesan ahasa. Kerusakan pada area ahasat mengurangi kemampuan untuk memahami ahasa lisan dan tulisan, namun kemampuan untuk berbicara secara normal tidak terganggu sama sekali (Solso dkk., 2008).
Pandangan kedua dari para ahli ahasatic tentang pemrosesan ahasa adalah teori tata ahasa transformasional. Yaitu suatu pandangan yang dikembangkan oleh Chomsky, bahwa dalam ahasa terdapat tata ahasa transformasional yaitu kumpulan peraturan yang mengendalikan keteraturan ahasa yang berkaitan dengan perubahan-perubahan bentuk ahasatic yang mempertahankan makna. Misalnya “Andi memukul bola” dan “bola dipukul Andi” keduanya memiliki makna yang sama meskipun susunan linguistiknya berbeda. Inilah yang dinamakan tata ahasa transformasional.
Berdasarkan teori-teori di atas memberikan dampak pada teori kognisi dan memori. Bahwa memori manusia tidak hanya menyimpan kalimat-kalimat akan tetapi memori manusia adalah hasil dari proses rekonstruksi dinamis yang salah satu komponennya adalah pengambilan intisari atau ide pokok dari suatu kalimat. Sehingga meskipun manusia diberikan kalimat dengan susunan yang beraneka ragam, manusia tetap dapat memahami makna dari kalimat tersebut.
Para psikolog ahasatic menjelaskan beberapa teori terhadap ahasa. Pertama, bahwa ahasa adalah hasil dari belajar  dan berkembang melalui penguatan. Asumsi ini bertolak belakang dengan teori ahli ahasatic Chomsky yaitu ahasa adalah bersifat bawaan dan hanya pada area morfologi saja yang melalui penguatan.
Kedua, terori hipotesis relativitas ahasatic, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa ahasa dan perkembangan biologis manusia berjalan beriringan, saling mempengaruhi satu sama lain. Selain itu juga memiliki gagasan penting bahwa ahasa mempengaruhi persepsi dan konseptualisasi realita. Misalnya suatu benda yang direpresentasikan oleh suatu kata akan dipahami secara berbeda oleh orang-orang yang memiliki ahasa yang berbeda.
Menjelang akhir abad ke-19, Emile Javal (1878) yang merupakan seorang peneliti Perancis menemukan fenomena bahwa dalam proses membaca, mata manusia tidaklah mengamati huruf demi huruf secara berurutan, melainkan bergerak dalam loncatan-loncatan kecil dengan disertai fiksasi sesaat di titik-titik tertentu yang disebut dengan gerak sarkadik (Saccades). James McKeen Cattel (1886a. 1886b) berupaya menemukan seberapa banyak yang dapat dibaca manusia normal selama sebuah periode fiksasi visual. Hasil eksperimennya mendukung studi-studi sebelumnya mengenai rentang atensi, namun sebuah hasil yang paling menarik minat Cattel berkenaan dengan fakta bahwa waktu reaksi berhubungan dengan familiaritas partisipan terhadap materi visual yang diberikan.
            Manusia melakukan gerak sakadik karena penglihatan manusia memiliki kecermatan paling tajam hanya pada sudut yang sangat sempit, sekitar 1 atau 2 derajat. Manusia menggerakkan mata untuk meninjau kembali teks yang telah dibaca dengan waktu 10-15 persen dari waktu keseluruhan. Gerakan ini disebut regresi (regressions). Ketajaman visual (visual activity) mencapai puncaknya bagi citra-citra objek yang jatuh di suatu bagian retina yang disebut fovea. Fovea adalah suatu lekukan kecil di bagian belakang mata, yang dipadati oleh neuron-neuron fotosensitif yang disebut sel kerucut (cones). Penglihatan Foveal (foveal vision) menjangkau sudut visual sekitar 1 atau 2 derajat. Beberapa peneliti (Goodman, 1970) mengajukan gagasan bahwa berdasarkan konteks informasi sekaligus parsial dari penglihatan perifer, para subyek menyusun “hipotesis” mengenai materi yang mungkin akan muncul dalam baris selanjutnya.
            Sebuah pandangan yang gagasan tersebut adalah gagasan dari McConkie dan Rayner (1973) mengasumsikan bahwa para partisipan menggunakan waktu fiksasinya untuk menentukan hakikat atau sifat teks, bukannya menyusun hipotesis mengenai apa yang akan muncul dalam baris berikutnya. Rayner juga menemukan bahwa unterpretasi semantic (seperti pemaknaan) dari suatu kata dapat diterapkan hanya pada kata yang terletak satu hingga tujuh spasi dari titik fiksasi, diluar rentang itu (7-12 spasi) partisipan hanya mampu menangkap karakteristik visual dasar (seperti huruf awal dan huruf akhir dalam kata).

NAMA          : RIZKA AMALIA

NIM             : 16410070

Tidak ada komentar:

Posting Komentar