Rabu, 06 Desember 2017

Fachriza Mahdiyatul Husna

Artikel Pembentukan Konsep, Logika, dan Pengambilan Keputusan

Berpikir adalah proses yang membentuk representasi mental baru melalui transformasi informasi oleh interaksi kompleks dari atribusi mental yang mencakup pertimbangan, pengabstrakan, penalaran, penggambaran, pemecahan masalah logis, pembentukan konsep, kreativitas dan kecerdasan. Terdapat tiga ide dasar tentang berpikir:
1. Berpikir adalah kognitif, terjadi secara internal dalam pemikiran, namun keputusan diambil lewat perilaku
2. Berpikir merupakan proses manipulasi pengetahuan dalam sistem kognitif
3. Berpikir bersifat langsung dan menghasilkan perilaku yang memecahkan masalah atau langsung menuju pada solusi (Solso, dkk, 2008).

A. Pembentukan Konsep
Pada awalnya, konsep adalah penggambran mental, ide, atau proses. Setelah itu, konsep didefinisikan dalam ciri-cirinya yang merupakan karakteristik suatu objek atau kejadian yang juga merupakan karakteristik objek atau kejadian lain (misalnya mobilitas adalah ciri dari kendaraan. Toyota, Lexus, dan Kia sama-sama memiliki ciri ini. Namun, objek lain seperti kelereng, burung, dan mainan Lego juga memiliki ciri ini). Penerimaan sebuah karakteristik sebagai suatu ciri bersifat subjektif dan pengguaannya sesuai keadaan. Deskripsi konseptual dalam penerimaan karakteristik ini ditentukan oleh kakunya kriteria. Kekhususan diatara ciri dapat dibuat dalam dasar kuantitatif dan kualitatif. Kedua ciri ini, dimensional (kuantitatif) dan atribusional (kualitatif) mempengaruhi pembentukan konsep.
1. Asosiasi
Prinsip asosiasi atau dikenal sebagai asosiasisme menyatakan bahwa pembentukan konsep adalah hasil dari:
a. Penguatan (reinforcement atau sistem hadiah) pasangan stimulus dengan respon yang mengidentifikasikannya sebagai sebuah konsep
b. Non-penguatan (hukuman) pasangan yang tidak dari sebuah stimulus dengan respon untuk mengidentifikasikannya sebagai konsep
1. Pengujian Hipotesis
Pemecahan masalah dan pembentukan konsep dapat dilakukan dengan pemformulasian dan pengujian hipotesis. Tahap awal dalam pembentukan konsep adalah pemilihan hipotesis atau strategi yang konsisten dengan objek penyelidikan. Pengambilan satu dari hal lain dalam pemilihan ini seterusnya akan berujung pada pencapaian kriteria (identifikasi konsep). Dalam pembentukan konsep, strategi yang dilakukan boleh memilih pemindaian dan pemusatan. Berikut subtipenya.
· Pemindaian simultan. Partisipam menguji seluruh hipotesis dan mengeliminasi yang tak dapat dipertahankan
· Pemindaian berturut-turut. Pertisipan memulai dengan hipotesis tunggal, mengembangkannya jika berhasil dan menggantinya dengan hipotesis lain jika gagal berdasarkan pengalaman sebelumnya
· Pemusatan konservatif. Partisipan memformulasikan hipotesis, memilih kejadian positif sebagai fokus, dan membuat urutan penyusunan kembali dengan memperhatikan yang mana menjadi positif dan negatif
· Kemungkinan fokus (focus gambling), dikarakterisasikan dengan mengganti lebih dari satu ciri dalam waktu yang sama
Dari berbagai strategi di atas, pemusatan konservatif menjadi strategi paling efektif. Teknik memindai hanya memberikan tingkat kesuksesan marginal. Sedangkan teknik pemusatan konservatif walaupun bersifat metodologis namun partisipan akan memilih kemungkinan dengan harapan dapat menentukan konsepnya dengan lebih cepat. Yang perlu diketahui bahwa partisipan tidak hanya berpegang pada satu strategi. Secara aktual, partisipan berada dalam kebimbangan dan berpindah-pindah di antara beberapa strategi selama menjalankan tugas (Solso, dkk, 2008).

B. Logika
Logika adalah ilmu berpikir. Walaupun dua orang memikirkan hal yang sama, kesimpulan mereka (lewat pemikirannya) mungin akan berbeda, logis dan tidak logis. Lebih dari 2000 tahun yang lalu Aristoteles memperkenalkan sistem penalaran atau validasi argumen yang disebut silogisme. Silogisme mempunyai 3 langkah, yaitu premis mayor, premis minor, dan konklusi. Misalnya: seluruh laki-laki adalah makhluk hidup (premis mayor). Sokrates adalah laki-laki (premis minor). Oleh karena itu, Sokrates makhluk hidup (konklusi). Konklusi didapat jika penalaran silogistik diakui valid atau benar, mika premis-premisnya akurat dan bentuknya benar. konklusi yang tidak logis dapat ditentukan dan sebab-sebabnya terisolasi. Logika silogistik dalam penelitian kognitif memungkinkan kita untuk mengevaluasi atau mengesahkan pembenaran dari proses pikiran berdasarkan bentuknya. Loguka jenis ini megurangi pernyataan fakta untuk simbol dan memanipulasinya seperti dalam rumus matematika, tanpa memperhatikan kenyataan fisik yang mungkin ditimbulkan.
1. Penalaran Deduktif
Penalaran deduktif merupakan teknik logis dimana konklusi terkait digambarkan dari lebih banyka prinsip dasar. 4 kemungkinan logika deduktif.
a. Kesimpilan relasional berdasarkan perangkat logis dari hubungan sebagai: lebih dari, di sebelah kanan dari, dan setelah (dalam contoh “Jika Bill lebih tinggi dari Jeff dan Jeff lebih pendek dari Rian, apakah Bill lebih tinggi dari Rian?” maka harus memakai logika “lebih dari”)
b. Kesimpulan preposisional berdasarkan negasi dan dalam koneksi seperti jika, atau, dan dan. Contoh, memfrasakan kembali masalah “Jika Bill lebih tinggi…”
c. Silogisme berdasarkan pasangan premis yang masing-masing berisi pemberi sifat tunggal seperti seluruh  atau sebagian. Contoh “seluruh psikolog brillian; sebagian psikolog memakai kacamata” (pembahasan berikutnya)
d. Menjumlahkan kesimpulan kuantitatif berdasarkan premis yang berisi lebih drai satu kesimpulan. Contoh beberapa pudel Prancis lebih mahal daripada jenis anjing yang lain
Keempat kesimpulan ini terlibat dalam pengambilan keputusan dan diformalisasikan ke dalam sejenis kalkulus predikat (yaitu cabang logika simbolis yang menguraikan relasi antara preposisi dan struktur internalnyasimbol digunakan untuk menggambarkan subjek dan predikat presposisi)
2. Penalaran Silogistik
Riset awal pembelajaran penalaran silogistik berangkat dari sebuah teknik introspeksi yang memunculkan 3 variabel independen: bentuk argumen, isi argumen, dan kemajemukan individu partisipan.
a. Bentuk
Bentuk argumen dalam penalaran silogistik dapat mengakibatkan kesalahan penalaran. Misalnya silogisme dengan bentuk "Semua A adalah B. Semua C adalah B. Jadi, seluruh A adalah C" akan menghasilkan konklusi yang mudah. Namun ketika huruf didistribusikan dalam kata-kata, maka dapat merubaj suasana atau atmosfer. Keinvalidan argumen terbukti setelah isi dari huruf-huruf diatas didistribusikan. Salah satu cara memecahkan silogisme adalah dengan menggambar diagram Venn. 






Gambar 1. Contoh Diagram Venn
Beberapa silogisme lebih sulit disebabkan oleh pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengenali argumen yang logis saat menghadapinya. Efek pertama disebut efek atmosfer, efek kedua berhubungan dengan keabsahan suatu argumen yang dihasilkan oleh pendidikan formal tapi lebid cenderung dihasilkan latihan
b. Atmosfer
Efek atmosfer adalah kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu argumen berdasarkan bentuknya. Dengan kata lain, mengajukan argumen dengan cara tertentu bisa mempengaruhi tingkat penerimaan argumen itu. Menurut Johnson-Laird dan Byrne, bentuk silogisme memiliki pengaruh kuat pada kesimpulan yang ditarik. Biasanya, silogisme AB, BC menghasilkan kesimpulan AC. Sementara silogisme BA, CB menghasilkan kesimpulan CA (misalnya: “beberapa orang tua adalah ilmuwan. Semua ilmuwan adalah sopir. Jadi, beberapa sopir adalah orang tua”). Perbedaan dalam memasangkan akan menciptakan atmosfer berbeda yang berujung pada kesimpulan yang berbeda pula.
Secara logis, orang-orang yang tidak terlatih seperti kebanyakan orang cenderung berpikir dengan membangun model-model situasi atau menggambar diagram yang menunjukkan hubungan dengan jelas. Orang-orang cenderung menarik kesimpulan dalam permasalahan logistik berdasarkan gambaran internal yang pertama kali terbentuk mengenai premis. Setelab gambaran ini terbentuk, penalaran logis dapat diterapkan pada gambaran tersebut. Jika gambaran (heuristik) berat sebelah dalam verifikasinya, maka tes kesimpulan yang logis terdiri atas usaha untuk memecahkan jalan antara premis dan kesimpulan.
c. Isi
Bentuk argumen bisa dipertahankan sambil mengubah-ubah isinya yang menjadi alat yang berguna dalam analisis proses penalaran. Jika premis  benar, maka kesimpulan juga akan benar walaupun suatu kesimpulan mungkin lebih sulit diterima daripada kesimpulan yang lain. Pengaruh isi atau keabsahan suatu argumen mengindikasikan bahwa proses kognitif tidaklah sederhana dan tidak mengesampingkan dampak pengetahuan yang tersimpan dalam LTM. Informasi mempengaruhi kualitas informasi yang diterima, diterjemahkan, disimpan, dan diubah. Bisa jadi keabsahan suatu pernyataan silogistik merupakan refleksi dari isi LTM. Bisa juga kesimpulan dari silogisme yang tidak valid cenderung untuk diterima jika kesimpulannya konsisten dengan sikap penilai. Kesalahan dalam hal ini cenderung dibuat ke arah prasangkanya mengenai kesimpulan itu (Solso, dkk, 2008).
C. Pengambilan Keputusan
1. Penalaran Induktif
Dalam penalaran ini, kesimpulan dinyatakan secara implisit atau eksplisit dalam konteks pernyataan kemungkinan dan keputusan yang dibuat didasarkan pada pengalaman masa lalu dan kesimpulannya didasarkan pada yang dirasa sebagai pilihan terbaik dari sejumlah alternatif. Mengevaluasi keabsahan suatu kesimpulan dalam penalaran induktif lebih berdasarkan pada pertimbangan daripada bentuk struktural dari suatu argumen. Dalam pengambilan keputusan, salah satu cara praktis untuk memecahkan masalah adalah dengan mendasarkan keputusan pada pengaturan faktor-faktor nya.
2. Pengambilan Keputusan dalam Kehidupan Nyata
a. Percakapan/Dialog Penalaran
Percakapan biasanya melibatkan argumentasi. Agar argumen bisa diuraikan, maka komponen struktural pokok dialog argumentatif adalah tuntutan, terkadang diikuti kelonggaran, permintaan atas dasar kebenaran  atau penyangkalan (bisa diikuti oleh kelonggaran atau sangkalan tandingan), dan lain-lain.












Gambar 2. Cara mengilustrasikan kerumitan suatu argumen. Pernyataan awal dalam suatu subargumen baru dapat dijawab dengan penakluk bantahan (rebutting defeater).

a. Kekeliruan Reifikasi
Reifikasi ide adalah menganggap suatu ide bersifat nyata walau pada hakikatnya bersifat hipotesis atau metafora. Misalnya mahasiswa pendidikan S2 berkata: "Universitas ini tidak mau memberiku gelar!". Dia menganggap universitas bertindak seperti seorang individu padahal nyatanya tidak demikian.
b. Argumen 'Ad Hominem'
Adalah argumen yang menyerang karakter seseorang, bukan isi argumennya. Argumen ini berkaitan dengan argumen yang disahkan berdasarkan pengalaman seseorang atau pengetahuan yang didapat dari pengalaman seseorang. Argumen inj terbentuk ketika satu contoh terlalu dibesar-besarkan dalam proses pengambilan keputusan. Kemajua ilmiah tidak berkembang dengan baik karena kedua tipe argumen ini.
c. Argumen yang Mempertimbangkan Kekuatan dan Tenaga (Paksaan)
Terkadang kekuasaan digunakan untuk mengesahkan suatu argumen. Kekuatan dan moralitas mungkin bagus, tapi tidak ada hubungannya dengan perjanjiana dan hak suatu bangsa atas kedaulatan.
d. Mempertimbangkan Wibawa atau Ketenaran
Kesalahan logis terkadang dibuat oleh orang-orang yang berkuasa dan/atau orang yang terkenal di suatu wilayah yang membuat pernyataan tentang orang lain.
e. Argumen-Mayoritas-Pasti-Benar
Yakni segala sesuatu yang dilakukan kebanyakan orang, hal itu pasti benar
f. Argumen Manusia Jerami
Yakni membangun argumen yang lemah dan menghubungkannya dengan orang lain sehingga orang lain terkalahkan. Karakteristik argumen ini adalah ciri yang mencolok difokuskan dan dipentingkan untuk mengalihkan tujuan utama argumen.

3. Dukungan Neurosains Kognitif
Berdasarkan tes diagnostika, untuk menyelesaikan masalah menggunakan teknik verbal, maka aktivitas utama terjadi di hemisfer kiri dan aktivitas di hemisfer kanan sangat minim. Sedangkan untuk menyelesaikan masalah terkait representasi struktural (teknik non verbal, misalnya dengan membayangkan lokasi item-item), maka hemisfer kiri akan bekerja minimal dan hemisfer kanan menunjukkan aktivitas utama. Dan berdasarkan penelitian selanjutnya, pasien dengan cidera pada hemisfer kanan lebih buruk kemampuan reasoning nya. Dan pasien yang kehilangan beberapa fungsi hemisfer kanan tidak mampu mengambil jawaban benar dari masalah logis yang berdasarkan pada premis yang salah.
4. Kerangka Keputusan (Decision Frames)
Kerangka keputusan adalah konsepsi tindakan, hasil keluaran, dan kontigensi pembuat keputusan ysng diasosiasikan dengan pilihan-pilihan tertentu. Kerangka diadopsi oleh seseorang saat akan membuat keputusan, dikendalikan oleh formulasi masalah dan norma, kebiasaan, dan karakteristik personal dari individu tersebut.
5. Memperkirakan Kemungkinan (Probabilitas)
Dalam beberapa hal, probabilitas suatu peristiwa dapat dikalkulasikan dengan matematika, sementara kejadian-kejadian yang lain dapat ditentukan hanya dengan pengalaman-pengalaman kita sebelumnya. Terkait hal ini, terdapat sebuah istilah yang disebut availability heuristic, yaitu berlebihan dalam menilai  frekuensi munculnya suatu kategori karena kategori tersebut lebih tersedia daripada kategori lainnya. Pengukuran probabilitas sesuatu diturunkan dari generalisasi berdasarkan atas sampel yang sangat terbatas yang dapat digeneralisasikan
6. Heuristik Keterwakilan (Representativeness Heuristic)
Mengukur probabilitas/peluang sebuah kejadian dipengaruhi oleh ketersediaan (availability) kejadian tersebut dan besarnya keterwakilan kejadian itu dalam hubungannya dengan seberapa sama kejadian tersebut dengan ciri esensial populasinya.
7. Teorema Bayes dan Pengambilan Keputusan
Teorema Bayes adalah sebuah model matematika yang menyediakan metode untuk mengevaluasi hipotesis perubahan nilai probabilitas. Hipotesis didasarkan pada probabilitas prior, yaitu peluang bahwa kejadian akan muncul lagi jika diberikan dalam kondisi/hal yang mirip dan sebuah hipotesis alternatif bisa juga diberikan. Dalam hal ini juga dikenal probabilitas kondisional (peluang yang terkondisikan), yaitu menghitung peluang kemungkinan suatu kejadian dan menimbang informasi baru dengan informasi sebelumnya tentang peluang kejadian lainnya. Aplikasi dari teori Bayes pada kehidupan sesungguhnya memiliki hambatan khusus karena estimasi yang akurat dari kemungkinan kejadian sulit dijelaskan secara pasti (Solso, dkk, 2008).

D. Pembuatan Keputusan dan Rasionalitas
Keseluruhan makhluk hidup dalam membentuk konsep menggunakan ketentuan rasional. Dalam pemikiran silogisme, validitas sebuah argumen dapat ditentukan oleh ketentuan logis. Sehingga dalam subbab pengambilan keputusan, manusia yang rasional pada umumnya bertindak irasional ketika mengambil keputusan tentang sekumpulan kejadian yang besar. Manusia adalah makhluk yang berfikir rasional dan secara sempurna. L. J. Cohen (1981) dari Universitas Oxford mengkritik pemikiran dan berpendapat bahwa:
1. Rasionalitas seharusnya ditentukan oleh orang-orang pada umumnya, bukan menurut penyusunan eksperimen laboratorium yang tidak dibuat untuk mengilustrasikan pengambilan keputusan setiap hari dan tidak relevan pada tampilan kenyataannya
2. Tidak beralasan bahwa orang biasa diharapakan menjadi ahli dalam bidang hukum kemungkinan dan hukum statistika yang menjadi dasar dan batas dari penyimpangan di beberapa percobaan
3. Hukum sistem logis dan rasionalitas tidak relevan dengan perilaku manusia sehari-hari
Neurosains Kognitif_Pembuatan Keputusan
Aktivitas otak pada korteks prefrontal orbital dan dorsolateral, singulasi anterior, insula, korteks parietal inferior, thalamus (sisi kanan), dan serebelum (sisi kiri) menyertai pembuat keputusan yang tidak diberi tahu (ronde pertama). Aktivitas demonstrasi penebakan tampak pada area asosiasi sensori motor dan amygdala (sisi kiri). Pembuatan keputusan yang telah diinformasikan (data dari ronde kedua) mengaktivasi area memori seperti hipokampus, singulasi posterior, dan area kontrol motor seperti striatum dan serebelum (Solso, dkk, 2008).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar