Jumat, 08 Desember 2017

FATIHATUN NURIL MUGNIA
16410037

Pemecahan masalah merupakan sebuah pemikiran yang secara langsung  bertendensi pada penanggulangan masalah secara spesifik. Baik berupa tanggapan, pilihan, ataupun respons dalam menanggulangi masalah tersebut.
Penyelesaian masalah ini seringkali mengarah pada teori yang Gestalt yang disebut-sebut sebagai teori pemahaman insight yang juga dapat diartikan sebagai konfigurasi atau keseluruhan yang terorganisir. Karl Duncker (1945) kemudian menciptakan sebuah konsep yang disebut dengan “functional fixedness” yaitu adanya kecenderungan untuk mempersepsikan suatu barang sesuai dengan fungsi pada umumnya, sehingga akan mempersulit penggunaan barang jika dialih fungsikan.
Nah, sebagai acuan pemecahan masalah kita dapat menggunakan  metode  POHEK, kalian pasti pernah mendengarkan kata ini ketika SMP atau SMA, pa sih POHEK itu? POHEK terdiri dari kata P yang berarti Perumusan masalah, O observasi, H hipotesis, E eksperimen, dan yang terakhir adalah K yakni kesimpulan. Pada umumnya, tahapan pemecahan suatu masalah dimulai dari apa yang diiingininkan oleh seorang partisipan sehingga mewujudkan adanya hipotesis-hipotesis  dan mengujinya, ketika hipotesis ini dianggap salah atau tidak sesuai maka akan muncul hipotesis lainnya yang kemudian akan muncul keadaan adanya trial and error.
Dalam prosesnya representasi internal ini bersifat sangat subyektif; transkripsi mental terhadap konfigurasi dunia nyata yang tidak begitu saja dikatakan sesuai dengan representasi internal seseorang. Organisasi perseptual dari suatu permasalahan dengan pengaruh motivasi penerima, bisa dan seringkali berbeda dari sifat fisik tugas.
Eisentandt dan Kareev menggambarkan dalam sebuah permainan “Gomoku” yang menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa jika seorang partisipan bermain dengan cepat menandakan perencanaan, atau antisipasi berbagi konfigurasi yang mungkun muncul atau diabaikan. Maka, terkait dengan pengenalan sebuah masalah dapat dikatakan bahwa representasi internal dibentuk oleh pencarian aktif atau sering disebut dengan proses top-down yang berarti analisis dimulai dengan usaha yang dibuat untuk memverifikasi dengan cara mencari rangsangan diikuti dengan hipotesis. Dan di proses dengan prosedur buttom-up dimana rangsangan diperiksa dan dicocokkan dengan komponen struktural.
Usaha-usaha awal untuk mengatasi kesulitan-kesulitan konsep menggunakan analisis faktor untuk mengisolasikan kemampuan umum maupun kemampuan khusus, telah dikritisi karena tidak menyediakan informasi mengenai proses-proses mental; sulit diujikan terhadap teori dan mengandalkan perbedaan-perbedaan individu, yang mana cara tersebut bukanlah satu-satunya hal yang terbaik dalam mempelajari manusia. 
Kreativitas merupakan bentuk aktifitas kognitif yang menghasilkan suatu pandangan yang baru terkait permasalahan serta tidak dibatasi pada hasil yang pragmatis (selalu dipandang menurut kegunaannya).
Proses kretif yang dikemukakan oleh Walla dibagi menjadi 4 fase: 1. Persiapan, melibatkan bentuk permasalahan, yaitu suatu proses dengan menggunakan dasar pengetahuan seseorang (2) inkubasi, masa dimana tidak ada usaha yang dilakukan secara langsung untuk memecahkan masalah dan tidak terfokus pada satu permasalahan saja (3) iluminasi, berlangsung saat pemahaman meningkat (4) verifikasi, melibatkan uji coba dari pemahaman yang telah didapat.
Sternberg (1977, 1980a, 1980b, 1982, 1984a, 1984b, 1986a, 1986b, 1989) membahas keterkaitan penalaran dan pemecahan masalah yang disebut dengan teori triarkhis (triarchic theory) terdiri dari 3 subteori:
1.  Perilaku inteligen komponensial (compenential intelligent behavior)
Menjelaskan struktur dan mekanisme yang mendasari perilaku inteligen. Teori ini membahas 3 komponen informasi : a) belajar bagaimana melakukan hal-hal tertentu. b) merencanakan hal-hal yang akan dilakukan serta bagaimana cara melakukannnya. c) melakukan hal tersebut.
2.  Perilaku inteligen eksperiensal (experiential intelligent behavior)
Komponen ini berisikan fakta sebagai tugas maupun situasi yang unik. Perilaku yang tepat secar kontekstual adalah perilaku yang tidak dianggap sebagai perilaku inteligen menurut pengalaman umum.
3.  Perilaku inteligen kontekstual (contextual intelligent behavior)
Perilaku ini meliputi a) adaptasi dengan lingkungan b) pemilihan erhadap lingkungan yang lebih optimal dibanding apa yang dilakukan individu pada umumnya c) menciptakan lingkungan yang lebih baik untuk peningkatan keahlian, minat, dan nilai-nilai.
Daya ingat (kecepatan, ketepatan, dan jumlah) dilakukan melalui proses verbal dan dari suatu dasar pengetahuan yang dimiliki oleh individu mempengaruhi jumlah dan ketepatan dari proses recall sebaik ketepatan dari metamemorinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar