BAHASA
DAN HUBUNGANNYA DENGAN KOGNITIF MANUSIA
Bahasa meliputi suatu sistem simbol
yang kita gunakan untuk berkomunikasi satu sama lain. Pada manusia, bahasa
ditandai oleh daya cipta manusia yang tidak pernah habis dan adanya sebuah
sistem aturan, yang dimaksud daya cipta yang tidak pernah habis ialah suatu
kemampuan individu untuk menciptakan sebuah kalimat bermakna yang tidak pernah
berhenti dengan menggunakan seperangkat kata dan aturan yang terbatas, yang
menjadikan bahasa sebagai upaya yang sangat kreatif.
Linguistik adalah
ilmu yang mempelajari tentang bahasa, dengan topik pembelajaran mengenai
struktur bahasa dan berfokus pada pendeskripsian suara-suara, makna-makna dan
tata bahasa dalam percakapan. Para psikolog umumnya mempelajari cara manusia menggunakan
bahasa. Ilmu yang menggabungkan pendekatan tersebut (yakni psikologi dan
linguistik) disebut psikolinguistik.
Linguistic
sendiri memiliki banyak hierarki, yang diantaranya adalah :
1. Fenom (phoneme) adalah unit dasar ahasa lisan yang saat
digunakan sebagai sebuah unit tunggal, tidak memiliki makna sama sekali. Fenom
dihasilkan oleh koordinasi yang rumit dari paru-paru, pita suara, larynx,
bibir, lidah dan gigi.
2. Morfem adalah unit-unit terkecil yang memiliki
makna, marfem (morfheme) dapat berupa kata-kata atau bagian-bagian kata seperti
prefik (awalan), sufiks(akhiran), atau ahasa ahasa-sufiks. Morfem ini terdapat
morfem bebas atau morfen terikat. Morfen bebas adalah unit-unti kata yang
berdiri secara mandiri (seperti, color, orange, dog), sementara morfem terikat
adalah bagian-bagian kata (colorless, oranges driving).
3. Morfologi
(morphology) adalah studi
mengenai stuktur kata-kata. Bahasa inggris memiliki lebih dari 100.000 kata
yang dibentuk dari kombinasi-kombinasi morfem, namun komposisi morfem yang
sedemikian luasnya tersebut diatur dengan ketat oleh batasan-batasan lingustik.
4. Sintaksis (syntax) adalah peraturan-peraturan yang
mengendalikan kombinasi kata-kata dalam frase dan kalimat. Jumlah variasi
kata-kata yang dapat dihasilkan manusia hanya dibatasi oleh waktu dan
imajinasi.
Tahun
1861, Paul Broca menemukan sebuah fakta bahwa cedera di bagian lobus frontalis
kiri otak seseorang (area ini kemudian dikenal dengan nama area broca) dapat
mengakibatkan hilangnya kemampuan berbicara. Tahun 1875, Carl Wernicke
menemukan fakta lain bahwa cedera pada lobus temporalis kiri berpengaruh kepada
pemrosesan ahasa. Kerusakan pada area ahasat mengurangi kemampuan untuk
memahami ahasa lisan dan tulisan, namun kemampuan untuk berbicara secara normal
tidak terganggu sama sekali (Solso dkk., 2008).
Pandangan
kedua dari para ahli ahasatic tentang pemrosesan ahasa adalah teori tata ahasa
transformasional. Yaitu suatu pandangan yang dikembangkan oleh Chomsky, bahwa
dalam ahasa terdapat tata ahasa transformasional yaitu kumpulan peraturan yang
mengendalikan keteraturan ahasa yang berkaitan dengan perubahan-perubahan
bentuk ahasatic yang mempertahankan makna. Misalnya “Andi memukul bola” dan
“bola dipukul Andi” keduanya memiliki makna yang sama meskipun susunan
linguistiknya berbeda. Inilah yang dinamakan tata ahasa transformasional.
Berdasarkan
teori-teori di atas memberikan dampak pada teori kognisi dan memori. Bahwa
memori manusia tidak hanya menyimpan kalimat-kalimat akan tetapi memori manusia
adalah hasil dari proses rekonstruksi dinamis yang salah satu komponennya
adalah pengambilan intisari atau ide pokok dari suatu kalimat. Sehingga
meskipun manusia diberikan kalimat dengan susunan yang beraneka ragam, manusia
tetap dapat memahami makna dari kalimat tersebut.
Para
psikolog ahasatic menjelaskan beberapa teori terhadap ahasa. Pertama, bahwa ahasa
adalah hasil dari belajar dan berkembang melalui penguatan. Asumsi ini
bertolak belakang dengan teori ahli ahasatic Chomsky yaitu ahasa adalah bersifat
bawaan dan hanya pada area morfologi saja yang melalui penguatan.
Kedua,
terori hipotesis relativitas ahasatic, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa ahasa
dan perkembangan biologis manusia berjalan beriringan, saling mempengaruhi satu
sama lain. Selain itu juga memiliki gagasan penting bahwa ahasa mempengaruhi
persepsi dan konseptualisasi realita. Misalnya suatu benda yang
direpresentasikan oleh suatu kata akan dipahami secara berbeda oleh orang-orang
yang memiliki ahasa yang berbeda.
Menjelang
akhir abad ke-19, Emile Javal (1878) yang merupakan seorang peneliti Perancis
menemukan fenomena bahwa dalam proses membaca, mata manusia tidaklah mengamati
huruf demi huruf secara berurutan, melainkan bergerak dalam loncatan-loncatan
kecil dengan disertai fiksasi sesaat di titik-titik tertentu yang disebut
dengan gerak sarkadik (Saccades). James McKeen Cattel (1886a. 1886b) berupaya
menemukan seberapa banyak yang dapat dibaca manusia normal selama sebuah
periode fiksasi visual. Hasil eksperimennya mendukung studi-studi sebelumnya
mengenai rentang atensi, namun sebuah hasil yang paling menarik minat Cattel
berkenaan dengan fakta bahwa waktu reaksi berhubungan dengan familiaritas
partisipan terhadap materi visual yang diberikan.
Manusia melakukan gerak sakadik karena penglihatan manusia memiliki kecermatan
paling tajam hanya pada sudut yang sangat sempit, sekitar 1 atau 2 derajat.
Manusia menggerakkan mata untuk meninjau kembali teks yang telah dibaca dengan
waktu 10-15 persen dari waktu keseluruhan. Gerakan ini disebut regresi
(regressions). Ketajaman visual (visual activity) mencapai puncaknya bagi
citra-citra objek yang jatuh di suatu bagian retina yang disebut fovea. Fovea
adalah suatu lekukan kecil di bagian belakang mata, yang dipadati oleh neuron-neuron
fotosensitif yang disebut sel kerucut (cones). Penglihatan Foveal (foveal
vision) menjangkau sudut visual sekitar 1 atau 2 derajat. Beberapa peneliti
(Goodman, 1970) mengajukan gagasan bahwa berdasarkan konteks informasi
sekaligus parsial dari penglihatan perifer, para subyek menyusun “hipotesis”
mengenai materi yang mungkin akan muncul dalam baris selanjutnya.
Sebuah pandangan yang gagasan tersebut adalah gagasan dari McConkie dan Rayner
(1973) mengasumsikan bahwa para partisipan menggunakan waktu fiksasinya untuk
menentukan hakikat atau sifat teks, bukannya menyusun hipotesis mengenai apa
yang akan muncul dalam baris berikutnya. Rayner juga menemukan bahwa
unterpretasi semantic (seperti pemaknaan) dari suatu kata dapat diterapkan
hanya pada kata yang terletak satu hingga tujuh spasi dari titik fiksasi,
diluar rentang itu (7-12 spasi) partisipan hanya mampu menangkap karakteristik
visual dasar (seperti huruf awal dan huruf akhir dalam kata).
NAMA : RIZKA AMALIA
NIM : 16410070
Tidak ada komentar:
Posting Komentar