FATIHATUN NURIL MUGNIA
16410037
Pemecahan masalah merupakan sebuah pemikiran yang secara
langsung bertendensi pada penanggulangan
masalah secara spesifik. Baik berupa tanggapan, pilihan, ataupun respons dalam
menanggulangi masalah tersebut.
Penyelesaian masalah ini seringkali mengarah pada teori
yang Gestalt yang disebut-sebut sebagai teori pemahaman insight yang
juga dapat diartikan sebagai konfigurasi atau keseluruhan yang terorganisir.
Karl Duncker (1945) kemudian menciptakan sebuah konsep yang disebut dengan “functional
fixedness” yaitu adanya kecenderungan untuk mempersepsikan suatu barang
sesuai dengan fungsi pada umumnya, sehingga akan mempersulit penggunaan barang
jika dialih fungsikan.
Nah, sebagai acuan pemecahan masalah kita dapat menggunakan metode
POHEK, kalian pasti pernah mendengarkan kata ini ketika SMP atau SMA, pa
sih POHEK itu? POHEK terdiri dari kata P yang berarti Perumusan masalah, O
observasi, H hipotesis, E eksperimen, dan yang terakhir adalah K yakni
kesimpulan. Pada umumnya, tahapan pemecahan suatu masalah dimulai dari apa yang
diiingininkan oleh seorang partisipan sehingga mewujudkan adanya
hipotesis-hipotesis dan mengujinya,
ketika hipotesis ini dianggap salah atau tidak sesuai maka akan muncul
hipotesis lainnya yang kemudian akan muncul keadaan adanya trial and error.
Dalam prosesnya representasi internal ini bersifat sangat
subyektif; transkripsi mental terhadap konfigurasi dunia nyata yang tidak
begitu saja dikatakan sesuai dengan representasi internal seseorang. Organisasi
perseptual dari suatu permasalahan dengan pengaruh motivasi penerima, bisa dan
seringkali berbeda dari sifat fisik tugas.
Eisentandt dan Kareev menggambarkan dalam sebuah
permainan “Gomoku” yang menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa jika seorang
partisipan bermain dengan cepat menandakan perencanaan, atau antisipasi berbagi
konfigurasi yang mungkun muncul atau diabaikan. Maka, terkait dengan pengenalan
sebuah masalah dapat dikatakan bahwa representasi internal dibentuk oleh
pencarian aktif atau sering disebut dengan proses top-down yang berarti analisis
dimulai dengan usaha yang dibuat untuk memverifikasi dengan cara mencari
rangsangan diikuti dengan hipotesis. Dan di proses dengan prosedur buttom-up
dimana rangsangan diperiksa dan dicocokkan dengan komponen struktural.
Usaha-usaha awal untuk mengatasi kesulitan-kesulitan
konsep menggunakan analisis faktor untuk mengisolasikan kemampuan umum maupun
kemampuan khusus, telah dikritisi karena tidak menyediakan informasi mengenai
proses-proses mental; sulit diujikan terhadap teori dan mengandalkan perbedaan-perbedaan
individu, yang mana cara tersebut bukanlah satu-satunya hal yang terbaik dalam
mempelajari manusia.
Kreativitas merupakan bentuk aktifitas kognitif yang
menghasilkan suatu pandangan yang baru terkait permasalahan serta tidak
dibatasi pada hasil yang pragmatis (selalu dipandang menurut kegunaannya).
Proses kretif yang dikemukakan oleh Walla dibagi menjadi
4 fase: 1. Persiapan, melibatkan bentuk permasalahan, yaitu suatu proses dengan
menggunakan dasar pengetahuan seseorang (2) inkubasi, masa dimana tidak ada
usaha yang dilakukan secara langsung untuk memecahkan masalah dan tidak
terfokus pada satu permasalahan saja (3) iluminasi, berlangsung saat pemahaman
meningkat (4) verifikasi, melibatkan uji coba dari pemahaman yang telah
didapat.
Sternberg (1977, 1980a, 1980b, 1982, 1984a, 1984b, 1986a,
1986b, 1989) membahas keterkaitan penalaran dan pemecahan masalah yang disebut
dengan teori triarkhis (triarchic theory) terdiri dari 3 subteori:
1.
Perilaku inteligen komponensial (compenential
intelligent behavior)
Menjelaskan struktur dan mekanisme yang mendasari
perilaku inteligen. Teori ini membahas 3 komponen informasi : a) belajar
bagaimana melakukan hal-hal tertentu. b) merencanakan hal-hal yang akan
dilakukan serta bagaimana cara melakukannnya. c) melakukan hal tersebut.
2.
Perilaku inteligen eksperiensal (experiential
intelligent behavior)
Komponen ini berisikan fakta sebagai tugas maupun situasi
yang unik. Perilaku yang tepat secar kontekstual adalah perilaku yang tidak
dianggap sebagai perilaku inteligen menurut pengalaman umum.
3.
Perilaku inteligen kontekstual (contextual intelligent
behavior)
Perilaku ini
meliputi a) adaptasi dengan lingkungan b) pemilihan erhadap lingkungan yang
lebih optimal dibanding apa yang dilakukan individu pada umumnya c) menciptakan
lingkungan yang lebih baik untuk peningkatan keahlian, minat, dan nilai-nilai.
Daya ingat (kecepatan, ketepatan, dan jumlah) dilakukan
melalui proses verbal dan dari suatu dasar pengetahuan yang dimiliki oleh
individu mempengaruhi jumlah dan ketepatan dari proses recall sebaik
ketepatan dari metamemorinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar