Rabu, 11 Oktober 2017

Pengenalan Objek

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kemampuan yang kita miliki dalam mengenali jenis-jenis objek yang familiar merupakan karakteristik mengagumkan yang dimiliki manusia. Kemampuan mengenali pola dan objek adalah sebuah kemampuan kognitif yang pada umumnya kita laksanakan dengan mulus, cepat, dan tanpa banyak usaha. Kita akan mempelajari bagaimana pengenalan pola (pattern recognition) dalam kehidupan sehari-hari yang melibatkan sebuah interaksi yang rumit antara sensasi, persepsi, memori, dan pencarian kognitif dengan tujuan pengenalan terhadap pola tersebut. Sebenarnya, seberapapun rumitnya proses tersebut, akan terselesaikan kurang dari satu detik.
Karena pemaparan diatas menunjukkan pentingnya mempelajari pengenalan pola dan objek dalam psikologi kognitif ini, maka pada kesempatan ini penulis akan memaparkan lebih jelas dalam pembahasan nanti terkait pengenalan pola dan objek.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Apakah teori perseptual itu?
2.      Bagaimana kita mengenal pola visual?
3.      Bagaimanakah pemikiran teori Gestalt itu?
4.      Bagaimana proses pengolahan persepsi pada pemrosesn bottom-up dan top-down?
5.      Apakah teori pencocokan template itu?
6.      Bagaimanakah teori analisa fitur itu?
7.      Bagaimanakah teori pencocokan prototipe itu?
8.      Bagaimanakah pengenalan pola pada para pakar?



1.3  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui cara manusia mempersepsikan dunia menurut teori perseptual.
2.      Unutk memahami bagaimana manusia mengenal pola visual.
3.      Untuk memahami pemikiran teori Gestalt mengenai persepsi.
4.      Untuk mengetaahui bagaimana proses pengolahan persepsi pada pemrosesan bottom-up dan top-down.
5.      Untuk mengetahui teori pencocokan template.
6.      Untuk memahami teori analisa fitur.
7.      Untuk memahami teori pencocokan prototipe.
8.      Untuk memahami bagaimana para pakar meng








BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Teori-Teori Perseptual
Teori-teori perseptual menjelaskan bagaimana suatu informasi sensorik yang diterima oleh panca indera kita diolah menjadi suatu persepsi. Teori-teori ini membantu kita memahami bagaimana sebuah sensasi diproses menjadi persepsi sebuah pola atau suatu objek. Para psikolog yang mempelajari persepsi telah mengembangkan dua teori utama tentang cara manusia memahami dunia. Teori yang dimaksud adalah teori persepsi konstruktif dan teori persepsi langsung.

a.    Teori Persepsi Konstruktif
Teori persepsi konstruktif disusun berdasarkan anggapan bahwa selama persepsi, kita membentuk dan menguji hipotesis-hipotesis yang berhubungan dengan persepsi berdasarkan apa yang kita indera dan apa yang kita ketahui. Dengan demikian, persepsi adalah sebuah efek kombinasi dari informasi yang diterima sistem sensorik dan pengetahuan yang kita pelajari dari dunia yang kita dapatkan dari pengalaman. Teori ini sangat berkaitan dengan pemrosesan top-down. Pendukung teori ini adalah sejumlah besar psikolog kognitif seperti Jerome Bruner, Richard Gregory, dan Irvin Rock dan sejalan dengan karya klasik Hermann von Helmholtz tentang persepsi visual pada peralihan abad ke-20 (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).

b.    Teori Persepsi Langsung
Teori persepsi langsung menyatakan bahwa informasi dalam stimuli adalah elemen penting dalam persepsi dan bahwa pembelajaran dan kognisi tidaklah penting dalam persepsi sebab lingkungan telah mengandung cukup informasi yang dapat digunakan untuk interpretasi. Pendukung teori ini adalah James Gibson dan para muridnya di Universitas Cornell seperti James Cutting. Cutting menyatakan bahwa persepsi langsung mengasumsikan bahwa keanekaragaman lapisan-lapisan optic sama kayanya dengan keanekaragaman dalam dunia ini. Gagasan ini didukung oleh para psikolog yang beorientasi ekologis. Mereka menyatakan bahwa stimulus itu sendiri telah memiliki informasi yang cukup untuk menghasilkan persepsi yang tepat dan tidak memerlukan adanya representasi internal. Seorang pengamat hanya melakukan sedikit upaya dalam proses persepsi karena dunia telah menyediakan sedemikian besar informasi, sehingga pengamat tidak perlu berupaya menyusun persepsi atau menarik kesimpulan-kesimpulan (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).

2.2  Pengenalan Pola Visual
Seorang konstruktivis akan menyatakan bahwa otak bersifat interpretative yang menggunakan heuristik (perumusan pikiran baru yang menuntun kepada penemuan baru) dan algoritma (tatanan aturan yang spesifik) untuk memproses sinyal-sinyal informasi. Otak amat mengandalkan heuristik sehingga akan sering membuat kekeliruan yang umumnya bersumber dari ilusi perseptual. Hal ini menyebabkan kita melihat hal-hal yang sesungguhnya tidak eksis di dunia fisik (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).
Ilusi tersebut bukan hanya bersumber dari sensasi dari dunia fisik, melainkan juga dari predisposisi sistem visual atau kognitif yang mendistorsi imaji dari dunia nyata. Dengan mempelajari ilusi, psikolog kognitif mampu memahami hubungan antara fenomena fisik eksternal dan cara pikiran mengorganisasi stimuli dalam representasi internal. Sejenis ilusi yang menggambarkan cara pikiran mengorganisasi stimuli visual sekaligus menggambarkan pentingnya pikiran dalam pengenalan objek ialah ilusi yang disebut kontur ilusoris. Kontur ilusoris adalah persepsi terhadap bentuk, namun bentuk itu hanya ada di sistem perseptual-kognitif, bukan di stimulus (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).
Berdasarkan sudut pandang evolusioner, kebutuhan untuk melihat bentuk, sudut dan pergerakan adalah kebutuhan yang penting sekali bagi kelangsungan hidup. Dengan semikian, tanpa adanya garis atau bentuk yang nyata, sistem kognisi-sensorik kita menggunakan informasi parsial untuk membangun bentuk-bentuk tersebut dalam upaya memahami dunia fisik yang tampak tidak beraturan. Kita tetap memandang objek tak nyata tersebut walau telah mengalihkan pandangan ke objek lain. Bertahannya objek tak nyata tersebut dikarenakan adanya inhibisi lateral, yakni tendensi dari elemen-elemen neural yang saling berdekatan dalam retina untuk merintangi sel-sel di sekelilingnya, sehingga memperkuat kesan terhadap kontur (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).

2.3   Teori Gestalt
Para penganut psikologi Gestalt hanya mempelajari cara mengorganisasi dan mengklasifikasi stimuli. Organisasi pola bagi mereka melibatkan kerja sama seluruh stimuli dalam menghasilkan sebuah kesan yang melampaui gabungan seluruh sensasi. Beberapa pola stimuli tampaknya diorganisasikan secara natural atau spontan, menurut Max Wertheimer (1923). Manusia membentuk ilusi-ilusi subjektif karena adanya tendensi untuk melihat figure-figur sederhana dan familiar dalam wujud yang baik, utuh, lengkap di lingkungan kita. Gagasan ini dikenal sebagai hukum Pragnanz dan menjadi hukum utama persepsi Gestalt (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).
Beberapa hukum Gestalt yang lain meliputi hukum keterdekatan (law of proximity), hukum kesamaan (law of similarity), hukum kontinuitas (law of continuity), dan hukum nasib bersama (law of common fate).
Sebuah pengembangan gagasan para psikolog Gestalt terlihat dalam hasil studi mengenai perspektif kanonik. Perspektif Kanonik adalah sudut pandang terbaik untuk menggambarkan suatu objek atau citra yang muncul di pikiran saat kita mengingat suatu bentuk. Jika kita diminta memikirkan sebuah cangkir, maka gambaran yang muncul dalam benak kita adalah gambaran cangkir yang lazim, bukan gambaran yang tidka lazim seperti cangkir yang terlihat dari atas. Representasi kanonik dibentuk melalui pengalaman dengan anggota-anggota sejenis dari suatu kategor, atau disebut exemplar (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).

2.4   Pemrosesan Bottom-Up dan Pemrosesan Top-Down
Teori pemrosesan bottom-up adalah teori yang mengajukan gagasan bahwa proses pengenalan diawali oleh identifikasi terhadap bagian-bagian spesifik dari suatu pola, yang menjadi landasan bagi pengenalan pola secara keseluruhan. Contoh: Jika ada seseorang, kita akan mengenalinya dari bagiannya dari suara, postur, cara berjalan dan lain-lain, sehingga kita tahu itu adalah si A. Sedangkan teori pemrosesan top-down adalah teori yang mengajukan gagasan bahwa proses pengenalan diawali oleh suatu hipotesis mengenai identitas suatu pola, yang diikuti oleh pengenalan terhadap bagian-bagian pola tersebut, berdasarkan asumsi yang sebelumnya telah dibuat. Contoh: kita tahu si B itu karena suaranya, postur, cara berjalan dan lain-lain.
            Meskipun tampilan tersebut dapat di kenali apabila tampilan di lengkapi dengan dengan informasi yang jelas dan detail. Namun bagian-bagaian tersebut menjadi konteks yang jelas bila di tempatkan dalam sesuatu yang sudah jelas pula polanya. Menurut palmer (Solso, Maclin, & Maclin, 2007) apabila dalam pemrosesan, seseorang hanya menggunakan model pemrosesan buttom-up atau top-down saja, maka akan muncul yang namanya parsing paradox, yaitu kesulitan-kesulitan yang di jumpai ketika dalam pemrosesan, seseorang hanya menggunakan pemrosesan buttom-up atau to-down saja.
                Palmer (1975) menyatakan bahwa dalam sebagian besar situasi, interpretasi terhadap bagian-bagian dan keseluruhan pola terjadi secara bersamaan antara bottom-up dan top-down. Palmer mencontohkan dalam pengenalan bagian-bagian suatu wajah dengan konteks dan tanpa konteks, bagian-bagian wajah dapat dikenali dengan mudah ketika ditempatkan dalam konteks yang tepat, dan bagian-bagian wajah menjadi bentuk yang ambigu ketika ditempatkan sendiri-sendiri, meskipun dapat dikenali ketika bagian-bagian wajah tersebut diperlengkapi dengan lebih banyak informasi yang detail. Oleh karena itu, keduanya tidak terpisah melainkan dapat terjadi secara bersamaan. Sehingga dapat memunculkan objek-objek yang sudah sering kita jumpai, menjadi lebih mudah kita kenal.
            Kita memiliki ekspektasi untuk melihat objek-objek tertentu dalam beragam konteks, seperti sebuah stetoskop di ruang praktek seorang dokter, peralatan memasak di sebuah dapur, sebuah computer di dalam kantor, dan sebuah hidran di pinggir jalan, pengenalan tentang dunia inilah yang memudahkan identifikasi terhadap objek-objek dalam konteks yang familiar dan sebaliknya mengahmbat pengenalan objek dalam konteks yang janggal. Beberapa penilitian terhadap “efek konteks” yang dilakukan oleh Biederman dan rekan-rekan menunjukkan bahwa ketika seseorang mencari objek-objek dalam dunia nyata (misalnya objek dalam konteks kampus atau konteks jalan raya), maka pengenalan, keakuratan, dan jumlah waktu yang diperlukan untuk mengidentifikasi objek berhubungan langsung dengan kecocokan atau kelaziman lokasi objek dalam konteks tersebut.
Berdasarkan studi-studi tersebut dan studi-studi serupa yang mempelajari identifikasi kata dan huruf dalam konteks, jelaslah bahwa persepsi terhadap objek sangat dipengaruhi oleh ekspektasi seseorang terhadap konteks.

2.5   Pencocokan Template
Sebuah teori mula-mula tentang cara otak mengenali pola dan objek disebut teori pencocokan template. Sebuah template, dalam konteks pengenalan pola pada mausia merujuk pada suatu konstruk internal yang ketika dicocokkan dengan stimuli sensorik, menyebabkan terjadinya pengenalan terhadap objek. Teori ini dapat kita analogikan dengan lubang kunci yang dimasuki kunci yang tepat. Dengan demikian, prosesnya terjadi seperti ini : energi cahaya yang dipantulkan oleh bentuk tersebut diterima retina dan ditransduksi ke energi neural yang dikirim ke otak. Otak melakukan pencarian dalam arsip template untuk mencari template yang cocok dengan pola neural yang diterima. Jika template itu cocok dengan pola neural, orang akan mengenali pola atau objek tersebut (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).
Teori pencocokan template, memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatannya, jelaslah bahwa agar kita mampu mengenali suatu bentuk atau pola, kita terlebih dahulu perlu melakukan pembandingan stimuli visual tersebut dengan suatu bentuk internal yang tersimpan dalam memori. Kelemahannya adalah suatu interpretasi harfiah dari teori pencocokan template akan menghadapi suatu kesulitan. Andaikata pengenalan terhadap objek hanya terjadi ketika objek eksternal diidentifikasikan 1:1 persis sama dengan representasi internal, maka jika ada sedikit saja perbedaan, objek tersebut tidak akan dikenali. Jika demikian, otak harus menyimpan jutaan template agar kita dapat mengenali objek-objek yang beranekaragam di dunia ini (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).
Sebuah alternatif untuk mengatasi kekakuan teori pencocokan template adalah sebuah teori yang mempostulatkan bahwa sistem pemrosesan informasi manusia memiliki sejumlah bentuk geometric sederhana yang terbatas, yang dapat diaplikasikan pada bentuk-bentuk yang rumit. Teori ini disebut dengan teori Geon, yang merupakan kependekan dari geometrical ions. Teori tersebut mengajukan gagasan bahwa seluruh bentuk-bentuk yang kompleks tersusun dari geon-geon.
Pemahaman mengenai pengenalan objek diupayakan melalui dua pendekatan. Sebuah pendekatan berfokus pada penjelasan domain-general, yakni penjelasan yang menyatakan bahwa otak dan sistem kognitif memiliki proses-proses umum untuk mengenal sejumlah besar kategori objek. Pendekatan lain berfokus pada penjelasan domain-spesific, yakni penjelasan yang menyatakan bahwa otak dan sistem kognitif memiliki sistem-sistem fungsional yang berperan dalam pengenalan kategori objek yang spesifik dan khusus (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).

2.6  Analisis Fitur
Sebuah pendekatan terhadap problem bagaimana kita menyaring informasi dari stimuli rumit disebut pendekatan analisis fitur. Teori ini menyatakan bahwa pengenalan objek merupakan pemrosesan informasi tingkat tinggi yang didahului oleh pengidentifikasian stimuli kompleks yang masuk ke retina sesuai dengan fitur-fitur yang lebih sederhana. Menurut pendekatan ini, sebelum kita memahami keseluruhan pola informasi visual, kita mereduksi dan menganalisis komponen-komponen informasi visual. Sebuah kata PANAH tidak serta-merta diubah menjadi representasi atau visual dalam memori kita, misalnya sebuah batang yang berujung tajam yang ditembakkan dari sebuah busur, tidak pula kata tersebut kit abaca “panah”, atau kita persepsikan huruf per huruf (P-A-N-A-H). Akan tetapi, kita mendeteksi dan menganalisis fitur-fitur atau komponen-komponen dari masing-masing huruf. Huruf A bisa kita pecah menjadi dua garis diagonal (/ \), sebuah garis horizontal (-), sebuah ujung bersudut (^), dan seterusnya. Jika proses pengenalan terjadi berdasarkan analisis fitur, maka tahap-tahap paling awal dalam pemrosesan informasi sesungguhnya jauh lebih kompleks daripada yang sebelumnya kita perkirakan (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).
Sebuah pendekatan langsung dalam analisis fitur adalah pengamatan terhadap pergerakan dan fiksasi mata. Jenis penelitian ini mengasumsikan bahwa mata membuat gerakan sakadik (gerakan mata yang meloncat dari satu titik fiksasi/tatapan ke titik fiksasi lainnya) yang berhubungan dengan informasi visual yang diindera. Diasumsikan bahwa ketika kita memandang suatu fitur dalam pola tertentu dalam jangka waktu relatif lama, kita akan memperoleh semakin banyak informasi dibandingkan apabila kita hanya mengamati fitur itu sekilas. Persepsi terhadap fitur dalam pola-pola yang kompleks tampaknya tidak hanya bergantung pada hakikat stimuli fisik, namun juga melibatkan proses-proses kognitif tingkat tinggi, seperti atensi dan sasaran (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).

2.7  Pencocokan Prototipe
Teori lain yang turut menjelaskan pengenalan objek adalah teori pencocokan prototipe. Diasumsikan bahwa, alih-alih membentuk template yang spesifik atau bahkan membentuk fitur-fitur berbagai ragam pola yang harus kita identifikasikan, kita menyimpan sejumlah jenis pola-pola abstraksi dalam memori, dan jika terdapat kesamaan antara keduanya, pola tersebut akan dikenali. Pencocokan prototipe memungkinkan pengenalan pola-pola yang tidak lazim namun tetap memiliki hubungan dengan prototipe. Terdapat banyak bukti di sekeliling kita yang mendukung konsep pencocokan prototipe. Kita mengenali sebuah mobil Volkswagen, meskipun mobil bermerek sama memiliki warna atau pernak-pernik yang berbeda-beda (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).
Pencocokan template dapat terjadi pada suatu tahap pengenalan/identifikasi visual, namun pada tahap yang lain, kita mungkin menggunakan pencocokan prototipe. Gagasan ini menyatakan bahwa suatu prototipe adalah sebuah abstraksi dari suatu rangkaian stimuli yang mencakup sejumlah besar bentuk-bentuk serupa dari pola yang sama. Sebuah prototipe memungkinkan kita mengenali suatu pola sekalipun pola tersebut tidak identik dengan prototipe yang bersangkutan. Sebagai contoh, kita mengenali berbagai ragam huruf S, bukan hanya karena berbagai variasi huruf S tersebut cocok dengan lubang kunci (template/prototipe) dalam memori kita, namun juga karena beragam jenis huruf S tersebut memiliki karakteristik-karakteristik yang sama (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).
Solso dan McCarthy dalam sebuah eksperimen menemukan bahwa para partisipan kerap kali melakukan suatu kekeliruan, yakni mengenali prototipe sebagai suatu bentuk stimulus yang pernah ditampilkan sebelumnya (padahal prototipe belum pernah ditampilkan sebelumnya). Bahkan para partisipan merasa lebih yakin dibandingkan saat mereka mengidentifikasi bentuk-bentuk yang memang sudah pernah mereka lihat sebelumnya. Fenomena ini disebut pseudomemori atau memori semu. Solso dan McCarthy mengajukan hipotesis bahwa sebuah prototipe dibentuk berdasarkan fitur-fitur yang sering dijumpai partisipan. Secara umum, kekuatan memori dalam mengingat fitur ditentukan oleh frekuensi pemaparan terhadap fitur yang bersangkutan. Pada umumnya, fitur-fitur yang lazim dijumpai disimpan secara permanen dalam memori dibandingkan fitur-fitur yang jarang dijumpai (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).
Sejumlah eksperimen pada akhirnya memunculkan dua teori tentang pembentukan prototipe, yaitu teori tendensi sentral dan teori frekuensi atribut. Teori tendensi sentral menyatakan bahwa sebuah prototipe dikonseptualisasikan mewakili rata-rata suatu set eksemplar. Prototipe adalah suatu abstraksi yang tersimpan dalam memori yang mewakili tendensi sentral dari kategori yang bersangkutan. Teori frekuensi atribut menunjukkan gagasan bahwa sebuah prototipe mewakili mode atau kombinasi atribut-atribut yang paling sering dialami seseorang. Setiap kali seseorang mengamati suatu pola, orang itu merekam fitur sekaligus pola beserta hubungan antara tiap-tiap fitur (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).

2.8  Pengenalan Pola pada Para Pakar
Sejauh ini kita mempelajari tampilan perseptual yang sederhana. Bagaimana kita mempelajari pola-pola yang lebih rumit? Chase dan Simon mempelajari problem ini dengan menganalisis pola rumit yang dihasilkan buah-buah catur di atas sebuah papan catur. Selain itu, para peneliti tersebut menganalisis perbedaan antara maestro-maestro catur dengan para pemain amatir. Dalam studi tersebut, pola tersusun dari kumpulan sejumlah objek, bukan fitur. Secara intuitif, kita mengetahui bahwa bahwa perbedaan kognitif antara seorang maestro catur dengan seorang amatir terletak pada seberapa banyak langkah yang dapat direncanakan seorang maestro dibandingkan seorang amatir. Intuisi tersebut ternyata keliru. Para maestro dan para pemain amatir merencanakan kemungkinan mempertimbangkan jumlah langkah yang sama, dan menjalani proses pencarian yang serupa terhadap berbagai pola langkah buah catur. Para pemain professional bahkan mempertimbangkan langkah alternative yang lebih sedikit, sedangkan para pemain amatir membuang-buang waktu dengan mempertimbangkan alternatif-alternatif yang sama sekali tidak tepat.
Apa perbedaannya? Salah satu perbedaannya terletak pada kemampuan seorang maestro untuk merekonstruksi pola buah-buah catur dalam pikirannya, hanya dengan mengamati papan catur seama beberapa detik, sedangkan pemain amatir mengalami kesulitan melakukan hal serupa. Para pakar catur memiliki kemampuan yang lebih besar untuk mereproduksi pola karena mereka mampu menyandikan posisi buah-buah catur menjadi satu bagan utuh (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).























BAB III
PENUTUP

3.1  Simpulan
Teori-teori perseptual menjelaskan bagaimana suatu informasi sensorik yang diterima oleh panca indera kita diolah menjadi suatu persepsi. Teori ini terdiri dari perseptual kontruktif dan perseptual langsung. Kemudian ada pula yang disebut dengan teori pengenalan pola visual yakni bertujuan agar sistem kognisi-sensorik kita menggunakan informasi parsial untuk membangun bentuk-bentuk dalam upaya memahami dunia fisik yang tampak tidak beraturan. Teori lainnya yakni yang mempelajari cara mengorganisasi dan mengklasifikasi stimuli merupakan teori Gestalt.
Teori pemrosesan bottom-up adalah teori yang mengajukan gagasan bahwa proses pengenalan diawali oleh identifikasi terhadap bagian-bagian spesifik dari suatu pola, yang menjadi landasan bagi pengenalan pola secara keseluruhan. Sebuah teori mula-mula tentang cara otak mengenali pola dan objek disebut teori pencocokan template. Sedangkan pendekatan terhadap problem bagaimana kita menyaring informasi dari stimuli rumit disebut pendekatan analisis fitur. Berbeda lagi dengan pengenalan pola para pakar, karna teori ini memahami pola-pola yang lebih rumit dari lainnya.
3.2  Saran
Dalam menulis makalah ini, penulis sangat menyadari masih banyak terdapat kekurangan. Salah satunya adalah dalam hal sumber penulisan. Selain itu, bahasa yang digunakan penulis sangat memungkinkan kurang dipahami pembaca. Sehingga, penulis menyarankan untuk kepenulisan selanjutnya agar lebih menambah sumber penulisan dan membuat contoh-contoh yang lebih dapat diterima dan dipahami oleh pembaca.





DAFTAR PUSTAKA

Solso, R. L., Maclin, O. H., & Maclin, M. K. (2007). Psikologi Kognitif. Jakarta: Erlangga.
Gazzaniga, M., S, R. I., & Mangun, G. R. (2009). Cognitive Neuroscience: The Biological of The Mind. London: W.W. Norton & Company Ltd.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar