Selasa, 12 September 2017

Nur amalia hamida

Misteri Otak dan Proses Kognisi
(Oleh : Nur amalia hamida)
16410046
Pernahkah anda membayangkan bagaimana sistem kerja otak saat anda sedang berpikir ? Otak merupakan organ yang bertanggung jawab atas seluruh badan dan pemikiran manusia. Berpikir adalah suatu proses yang melibatkan otak untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu. Otak manusia terdiri atas 100 juta sel saraf atau neuron, hal ini menjadikan otak sebagai sesuatu yang luar biasa dan mengandung banyak misteri.  Bahkan menurut R. W. Williams & Herrup (1988) karena banyak neuron yang berukuran kecil dan variasi densitas dari satu titik ke titik yang lain, menentukan jumlah neuron yang tepat masih sulit. Ilmu yang mencoba untuk mengungkapkan misteri otak adalah neurosains. Neurosains adalah ilmu yang mempelajari sistem saraf atau sistem neuron.
Kemudian pada perkembangan selanjutnya, otak dengan 100 juta sel saraf didalamnya diyakini dapat mempengaruhi kognisi manusia bahkan mengontrol gerakan tubuh. Menurut sejarahnya, seorang tokoh dalam penelitian kedua hemisfer otak Mchaell Gazzaniga pada suatu waaktu berada dalam taksi yang sama dengan George Miller, seorang psikolog kognitif terkemuka. Keduannya hendak menghadiri acara makan malam bagi para ilmuwan dari Universitas Rockfaleeler dan Universitas Cornell. Singkat cerita, pembicaraan Miller dan Gazzaiga dalam perjalanan  menuju acara makan malam kemudian  melahirkan sebuah istilah “neurosains kognitif” (cognitive neuroscience). Dalam batasan - batasan tertentu, neurosains kognitif adalah ilmu yang menyediakan dasar-dasar untuk lebih jauh lagi menyelidiki isu-isu mengenai pikiran dan tubuh.
Alasan mengapa  ilmu neurosain dan psikologi kogntif disatukan. Pertama, kebutuhan untuk menemukan bukti-bukti fisik yang mendukung struktu pikiran. Kedua, kebutuhan para ilmuan neurosains untuk menghubungkan penemuan – penemuan merekan dengan model-model fungsi otak dan kognisi yang lebih komperhensif. Ketiga, sasaran klinis untuk menemukan korelasi antara pathologi otak dan perilaku (simtom). Keempat, meninggkatkan keterlibatan fungsi neurologis dalam model-model yang menggambarkan kinerja pikiran. (Solso, 2008, p.61 ) 
Salah satu pertanyaan yang membuat bingung para filsuf zaman Renaissance adalah bagaimana cara tubuh bergerak. Mereka tidak dapat memastikan apakah tubuh dan pikiran adalah dua zat yang berbeda. Kemudian Rene Descrates memberikan sebuah contoh tentang seseorang yang tanpa sadar meletakkan tangannya didekat api dan ketika merasakan sangat panas, seketika ia menarik tangannya tanpa berpikir. Kemudian Decrates meyakini adanya semacam “filamen” atau benang yang menghubungkan tangan dengan otak sehingga mengaktifkan otak, dan otak  melepaskan cairan yang membuat lengan menarik telapak tangan tersebut.
          Kemudian pada penemuan selanjutnya cara kerja filamen ini disebutkan menjadi sesuatu sistem yang lebih komplek dari sekedar cairan yang menghubungkan otak dengan tubuh dan dikenal sebagai sistem saraf  pusat. Sistem saraf pusat yang terdiri atas saraf tulang belakang dan otak pada dasarnya dibentuk oleh neuron.  Neuron merupakan sel utama dalam sistem saraf. Menurut Solso (2008) setiap saat, sejumlah besar neuron kortikal berada dalam kondisi aktif, dan diasumsikan bahwa fungsi-fungsi kognitif seperti persepsi, berpikir, kesadaran, dan memori, semuanya berlangssung dengan penembakan neuron-neuron secara serempak sepanjang jaringan neural tersebut.    
          Neuron terdiri atas empat struktur yakni badan sel, dendrit, akson dan terminal prasinaptik. Kemudian, dendrit dan terminal prasinaptik bersama-sama membentuk sinapsis. Sinapsis adalah titik temu antara terminal akson salah satu neuron dengan neuron lainnya. Oleh sebab itu, pada sinapsis terjadi pertukaran informasi kimiawi antar neuron. Informasi ini disebut dengan neurotansmitter. Neurotransmitter memiliki dua efek yang berlawanan yakni inhibitoris dan eksitatoris. Efek inhibitoris adalah dimana pesan ini mencegah neuron penerima menembakkan implus. Sedangkan eksitatoris adalah dimana pesan ini memiliki efek menerima penembakan implus (Solso, 2008, p.41). salah satu sifat dasar dari neuron adalah apabila rusak,tidak dapat memperbaharui diri. Sedangkan untuk kecepatan pengiriman pesan ini, bergantung pada panjangnya akson tersebut.
          Berikut ini dicontohkan model kognisi atau koneksionis yang disederhanakan, pada koneksi neural di mana saja (X bersinapsis dengan Y), jika neuron X memberi rangsangan pada neuron Y menghasilkan seesuatu yang memuaskan atau mendapat feedback yang baik, maka koneksi keduanya akan semakin kuat. Begitu pula sebaliknya, jika tidak mendapatkan hasil yang menguntungkan maka akan diredam.
Lalu dimanakah letak pusat proses berpikir dan kognisi?
          Pusat proses bepikir dan kognisi terletak pada korteks serebral. Korteks serebral merupakan penutup permukaan belahan otak yang sering disebut dengan hemisfer. Namun, meskipun pusat berpikir dan kognisi terletak pada korteks serebral pada kenyataanya, kognisi (persepsi, memori, pemecahan masalah, pemrosesan bahasa) banyak melibatkan bagian otak lainnya (tidak hanya kortes serebral).
          Korteks serebral terdiri atas empat lobus, yakni. Pertama, Lobus frontal terlibat dalam pertimbangan dan pemecahan masalah. Kedua, Lobus temporal memproses sinyal-sinyal auditori dan pendengaran. Ketiga, Lobus parietal pemanipulasian objek dan mengintegrasikan informasi sensoris. Keempat, Lobus oksipital, terlibat dalam pemrosesan visual (Solso, 2008, p.45 )
          Pada zaman Yunani Kuno, para cendekiawan tidak meyakini bahwa otak berhubungan dengan pikiran dan persepsi. Aristoteles mengutarakan bahwasannya pikiran dan persepsi merupakan kinerja fungsi jantung. Ilmu neurosains kogntif modern dulunya diawali dengan penelitian tentang frenologi, lobotomi dan lokalisasi fungsi. Ilmuwan Fronologi beranggapan bahwasannya beberpa fungsi otak memangberhubungan dengan area-area tertentu di tubuh. Namun pada perkembangan selanjutnya, fronologi dianggap sebagai ilmu pengetahuan karena tidak didukung oleh data ilmiah yang valid. Selain itu dulu dikenal istilah lobotomi. Lobotomi dilakukan untuk mengendalikan atau menenangkan pasien dengan merusak jaringan – jaringan otak lobus prefrontal karena Lobus prefrontal diyakini dapat mengendalikan tempramen seseorang. Kemudian pada perkembangannya lobotomi ini akhirnya dilarang pemeraktikkannya karena dianggap sebagai praktik yang sadis. 
pendapat lokalisasi pada bagian otak menghadikan pertentangan. Seorang ilmuwan bernama Pierre Flourens tidak setuju dengan pendapat lokalisasi pada bagian otak. Ia menganggap bahwasannya otak bekerja sebagai organ yang holistik, yakni memproses aktivitas-aktivitas kognitif secara merata di seluruh bagian otak. Pendapat Flourens ini dikenal dengan teori medan agregat. Pendapat yang masih eksis sampai saat ini pada perkembangan ilmu kognitif modern adalah jalan tengah antara area medan agregat  dengan teori lokalisasi (Solso, 2008, p.50 ). Yang dimaksud dengan jalan tengah adalah anggapan bahwa atribut mental teralokasi di region yang spesifik di dalam otak, dimana beberapa atribut teralokalisasi namun proses kognitif lainnya tersebar diseluruh bagian otak.     

          Dalam mempelajari pemikiran atau kognisi manusia para ilmuwan neurosain dibantu dengan alat-alat seperti electroencephalography (EEG), Computed axial tomography (CT), Postiron emission tomography (PET), dll. Dan kemudian alat-alat ini membantu para peneliti dalam menyelami dan menyingkap kognitif manusia.       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar