Misteri Otak dan Proses Kognisi
(Oleh : Nur amalia hamida)
16410046
Pernahkah anda membayangkan bagaimana sistem kerja otak saat
anda sedang berpikir ? Otak merupakan organ yang bertanggung jawab atas seluruh
badan dan pemikiran manusia. Berpikir adalah suatu proses yang melibatkan otak
untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu. Otak manusia terdiri atas 100
juta sel saraf atau neuron, hal ini menjadikan otak sebagai sesuatu yang luar
biasa dan mengandung banyak misteri. Bahkan menurut R. W. Williams & Herrup (1988) karena banyak neuron yang berukuran kecil dan
variasi densitas dari satu titik ke titik yang lain, menentukan jumlah neuron yang tepat masih sulit. Ilmu yang mencoba untuk mengungkapkan misteri otak adalah
neurosains. Neurosains adalah ilmu yang mempelajari sistem saraf atau sistem
neuron.
Kemudian pada perkembangan selanjutnya, otak dengan 100
juta sel saraf didalamnya diyakini dapat mempengaruhi kognisi manusia bahkan
mengontrol gerakan tubuh. Menurut sejarahnya, seorang tokoh dalam penelitian
kedua hemisfer otak Mchaell Gazzaniga pada suatu waaktu berada dalam taksi yang
sama dengan George Miller, seorang psikolog kognitif terkemuka. Keduannya
hendak menghadiri acara makan malam bagi para ilmuwan dari Universitas Rockfaleeler
dan Universitas Cornell. Singkat cerita, pembicaraan Miller dan Gazzaiga dalam
perjalanan menuju acara makan malam
kemudian melahirkan sebuah istilah
“neurosains kognitif” (cognitive neuroscience). Dalam batasan - batasan
tertentu, neurosains kognitif adalah ilmu yang menyediakan dasar-dasar untuk
lebih jauh lagi menyelidiki isu-isu mengenai pikiran dan tubuh.
Alasan mengapa
ilmu neurosain dan psikologi kogntif disatukan. Pertama,
kebutuhan untuk menemukan bukti-bukti fisik yang mendukung struktu pikiran. Kedua,
kebutuhan para ilmuan neurosains untuk menghubungkan penemuan – penemuan
merekan dengan model-model fungsi otak dan kognisi yang lebih komperhensif. Ketiga,
sasaran klinis untuk menemukan korelasi antara pathologi otak dan perilaku
(simtom). Keempat, meninggkatkan keterlibatan fungsi neurologis dalam
model-model yang menggambarkan kinerja pikiran. (Solso, 2008, p.61 )
Salah satu pertanyaan yang membuat bingung para filsuf zaman
Renaissance adalah bagaimana cara
tubuh bergerak. Mereka tidak dapat memastikan apakah tubuh dan pikiran adalah
dua zat yang berbeda. Kemudian Rene Descrates memberikan sebuah contoh tentang
seseorang yang tanpa sadar meletakkan tangannya didekat api dan ketika
merasakan sangat panas, seketika ia menarik tangannya tanpa berpikir. Kemudian
Decrates meyakini adanya semacam “filamen” atau benang yang menghubungkan
tangan dengan otak sehingga mengaktifkan otak, dan otak melepaskan cairan yang membuat lengan menarik
telapak tangan tersebut.
Kemudian pada
penemuan selanjutnya cara kerja filamen ini disebutkan menjadi sesuatu sistem yang
lebih komplek dari sekedar cairan yang menghubungkan otak dengan tubuh dan
dikenal sebagai sistem saraf pusat. Sistem
saraf pusat yang terdiri atas saraf tulang belakang dan otak pada dasarnya
dibentuk oleh neuron. Neuron merupakan
sel utama dalam sistem saraf. Menurut Solso (2008) setiap saat, sejumlah besar
neuron kortikal berada dalam kondisi aktif, dan diasumsikan bahwa fungsi-fungsi
kognitif seperti persepsi, berpikir, kesadaran, dan memori, semuanya
berlangssung dengan penembakan neuron-neuron secara serempak sepanjang jaringan
neural tersebut.
Neuron
terdiri atas empat struktur yakni badan sel, dendrit, akson dan terminal
prasinaptik. Kemudian, dendrit dan terminal prasinaptik bersama-sama membentuk
sinapsis. Sinapsis adalah titik temu antara terminal akson salah satu neuron
dengan neuron lainnya. Oleh sebab itu, pada sinapsis terjadi pertukaran
informasi kimiawi antar neuron. Informasi ini disebut dengan neurotansmitter.
Neurotransmitter memiliki dua efek yang berlawanan yakni inhibitoris dan
eksitatoris. Efek inhibitoris adalah dimana pesan ini mencegah neuron penerima
menembakkan implus. Sedangkan eksitatoris adalah dimana pesan ini memiliki efek
menerima penembakan implus (Solso, 2008, p.41). salah satu sifat dasar dari
neuron adalah apabila rusak,tidak dapat memperbaharui diri. Sedangkan untuk
kecepatan pengiriman pesan ini, bergantung pada panjangnya akson tersebut.
Berikut
ini dicontohkan model kognisi atau koneksionis yang disederhanakan, pada
koneksi neural di mana saja (X bersinapsis dengan Y), jika neuron X memberi
rangsangan pada neuron Y menghasilkan seesuatu yang memuaskan atau mendapat feedback
yang baik, maka koneksi keduanya akan semakin kuat. Begitu pula sebaliknya,
jika tidak mendapatkan hasil yang menguntungkan maka akan diredam.
Lalu dimanakah letak pusat proses berpikir dan kognisi?
Pusat
proses bepikir dan kognisi terletak pada korteks serebral. Korteks serebral
merupakan penutup permukaan belahan otak yang sering disebut dengan hemisfer.
Namun, meskipun pusat berpikir dan kognisi terletak pada korteks serebral pada
kenyataanya, kognisi (persepsi, memori, pemecahan masalah, pemrosesan bahasa)
banyak melibatkan bagian otak lainnya (tidak hanya kortes serebral).
Korteks
serebral terdiri atas empat lobus, yakni. Pertama, Lobus frontal
terlibat dalam pertimbangan dan pemecahan masalah. Kedua, Lobus temporal
memproses sinyal-sinyal auditori dan pendengaran. Ketiga, Lobus parietal
pemanipulasian objek dan mengintegrasikan informasi sensoris. Keempat, Lobus
oksipital, terlibat dalam pemrosesan visual (Solso, 2008, p.45 )
Pada zaman
Yunani Kuno, para cendekiawan tidak meyakini bahwa otak berhubungan dengan
pikiran dan persepsi. Aristoteles mengutarakan bahwasannya pikiran dan persepsi
merupakan kinerja fungsi jantung. Ilmu neurosains kogntif modern dulunya diawali
dengan penelitian tentang frenologi, lobotomi dan lokalisasi fungsi. Ilmuwan Fronologi
beranggapan bahwasannya beberpa fungsi otak memangberhubungan dengan area-area
tertentu di tubuh. Namun pada perkembangan selanjutnya, fronologi dianggap
sebagai ilmu pengetahuan karena tidak didukung oleh data ilmiah yang valid. Selain
itu dulu dikenal istilah lobotomi. Lobotomi dilakukan untuk mengendalikan atau
menenangkan pasien dengan merusak jaringan – jaringan otak lobus prefrontal karena
Lobus prefrontal diyakini dapat mengendalikan tempramen seseorang. Kemudian
pada perkembangannya lobotomi ini akhirnya dilarang pemeraktikkannya karena
dianggap sebagai praktik yang sadis.
pendapat lokalisasi pada bagian otak menghadikan
pertentangan. Seorang ilmuwan bernama Pierre Flourens tidak setuju dengan pendapat
lokalisasi pada bagian otak. Ia menganggap bahwasannya otak bekerja sebagai
organ yang holistik, yakni memproses aktivitas-aktivitas kognitif secara merata
di seluruh bagian otak. Pendapat Flourens ini dikenal dengan teori medan
agregat. Pendapat yang masih eksis sampai saat ini pada perkembangan ilmu
kognitif modern adalah jalan tengah antara area medan agregat dengan teori lokalisasi (Solso, 2008, p.50 ).
Yang dimaksud dengan jalan tengah adalah anggapan bahwa atribut mental teralokasi
di region yang spesifik di dalam otak, dimana beberapa atribut teralokalisasi
namun proses kognitif lainnya tersebar diseluruh bagian otak.
Dalam
mempelajari pemikiran atau kognisi manusia para ilmuwan neurosain dibantu
dengan alat-alat seperti electroencephalography (EEG), Computed axial
tomography (CT), Postiron emission tomography (PET), dll. Dan kemudian alat-alat
ini membantu para peneliti dalam menyelami dan menyingkap kognitif manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar