BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemampuan yang kita miliki dalam mengenali jenis-jenis objek yang
familiar merupakan karakteristik mengagumkan yang dimiliki manusia. Kemampuan
mengenali pola dan objek adalah sebuah kemampuan kognitif yang pada umumnya
kita laksanakan dengan mulus, cepat, dan tanpa banyak usaha. Kita akan
mempelajari bagaimana pengenalan pola (pattern recognition) dalam
kehidupan sehari-hari yang melibatkan sebuah interaksi yang rumit antara
sensasi, persepsi, memori, dan pencarian kognitif dengan tujuan pengenalan
terhadap pola tersebut. Sebenarnya, seberapapun rumitnya proses tersebut, akan
terselesaikan kurang dari satu detik.
Karena pemaparan diatas menunjukkan pentingnya mempelajari
pengenalan pola dan objek dalam psikologi kognitif ini, maka pada kesempatan
ini penulis akan memaparkan lebih jelas dalam pembahasan nanti terkait
pengenalan pola dan objek.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apakah teori perseptual itu?
2.
Bagaimana kita mengenal pola visual?
3.
Bagaimanakah pemikiran teori Gestalt
itu?
4.
Bagaimana proses pengolahan persepsi
pada pemrosesn bottom-up dan top-down?
5.
Apakah teori pencocokan template
itu?
6.
Bagaimanakah teori analisa fitur
itu?
7.
Bagaimanakah teori pencocokan
prototipe itu?
8.
Bagaimanakah pengenalan pola pada
para pakar?
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui cara manusia
mempersepsikan dunia menurut teori perseptual.
2.
Unutk memahami bagaimana manusia
mengenal pola visual.
3.
Untuk memahami pemikiran teori
Gestalt mengenai persepsi.
4.
Untuk mengetaahui bagaimana proses
pengolahan persepsi pada pemrosesan bottom-up dan top-down.
5.
Untuk mengetahui teori pencocokan
template.
6.
Untuk memahami teori analisa fitur.
7.
Untuk memahami teori pencocokan
prototipe.
8.
Untuk memahami bagaimana para pakar
meng
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori-Teori Perseptual
Teori-teori perseptual menjelaskan bagaimana suatu informasi
sensorik yang diterima oleh panca indera kita diolah menjadi suatu persepsi.
Teori-teori ini membantu kita memahami bagaimana sebuah sensasi diproses
menjadi persepsi sebuah pola atau suatu objek. Para psikolog yang mempelajari
persepsi telah mengembangkan dua teori utama tentang cara manusia memahami
dunia. Teori yang dimaksud adalah teori persepsi konstruktif dan teori persepsi
langsung.
a.
Teori Persepsi Konstruktif
Teori persepsi konstruktif disusun berdasarkan anggapan bahwa
selama persepsi, kita membentuk dan menguji hipotesis-hipotesis yang
berhubungan dengan persepsi berdasarkan apa yang kita indera dan apa yang kita
ketahui. Dengan demikian, persepsi adalah sebuah efek kombinasi dari informasi
yang diterima sistem sensorik dan pengetahuan yang kita pelajari dari dunia
yang kita dapatkan dari pengalaman. Teori ini sangat berkaitan dengan
pemrosesan top-down. Pendukung teori ini adalah sejumlah besar psikolog
kognitif seperti Jerome Bruner, Richard Gregory, dan Irvin Rock dan sejalan
dengan karya klasik Hermann von Helmholtz tentang persepsi visual pada
peralihan abad ke-20 (Solso, Maclin, & Maclin,
2007) .
b.
Teori Persepsi Langsung
Teori persepsi langsung menyatakan bahwa informasi dalam stimuli
adalah elemen penting dalam persepsi dan bahwa pembelajaran dan kognisi
tidaklah penting dalam persepsi sebab lingkungan telah mengandung cukup
informasi yang dapat digunakan untuk interpretasi. Pendukung teori ini adalah
James Gibson dan para muridnya di Universitas Cornell seperti James Cutting.
Cutting menyatakan bahwa persepsi langsung mengasumsikan bahwa keanekaragaman
lapisan-lapisan optic sama kayanya dengan keanekaragaman dalam dunia ini.
Gagasan ini didukung oleh para psikolog yang beorientasi ekologis. Mereka
menyatakan bahwa stimulus itu sendiri telah memiliki informasi yang cukup untuk
menghasilkan persepsi yang tepat dan tidak memerlukan adanya representasi
internal. Seorang pengamat hanya melakukan sedikit upaya dalam proses persepsi
karena dunia telah menyediakan sedemikian besar informasi, sehingga pengamat
tidak perlu berupaya menyusun persepsi atau menarik kesimpulan-kesimpulan (Solso, Maclin, & Maclin, 2007) .
2.2 Pengenalan Pola Visual
Seorang konstruktivis akan menyatakan bahwa otak bersifat
interpretative yang menggunakan heuristik (perumusan pikiran baru yang menuntun
kepada penemuan baru) dan algoritma (tatanan aturan yang spesifik) untuk memproses
sinyal-sinyal informasi. Otak amat mengandalkan heuristik sehingga akan sering
membuat kekeliruan yang umumnya bersumber dari ilusi perseptual. Hal ini
menyebabkan kita melihat hal-hal yang sesungguhnya tidak eksis di dunia fisik (Solso,
Maclin, & Maclin, 2007) .
Ilusi tersebut bukan hanya bersumber dari sensasi dari dunia fisik,
melainkan juga dari predisposisi sistem visual atau kognitif yang mendistorsi
imaji dari dunia nyata. Dengan mempelajari ilusi, psikolog kognitif mampu
memahami hubungan antara fenomena fisik eksternal dan cara pikiran
mengorganisasi stimuli dalam representasi internal. Sejenis ilusi yang
menggambarkan cara pikiran mengorganisasi stimuli visual sekaligus
menggambarkan pentingnya pikiran dalam pengenalan objek ialah ilusi yang
disebut kontur ilusoris. Kontur ilusoris adalah persepsi terhadap
bentuk, namun bentuk itu hanya ada di sistem perseptual-kognitif, bukan di
stimulus (Solso, Maclin, & Maclin, 2007) .
Berdasarkan sudut pandang evolusioner, kebutuhan untuk melihat
bentuk, sudut dan pergerakan adalah kebutuhan yang penting sekali bagi
kelangsungan hidup. Dengan semikian, tanpa adanya garis atau bentuk yang nyata,
sistem kognisi-sensorik kita menggunakan informasi parsial untuk membangun
bentuk-bentuk tersebut dalam upaya memahami dunia fisik yang tampak tidak
beraturan. Kita tetap memandang objek tak nyata tersebut walau telah
mengalihkan pandangan ke objek lain. Bertahannya objek tak nyata tersebut
dikarenakan adanya inhibisi lateral, yakni tendensi dari elemen-elemen neural
yang saling berdekatan dalam retina untuk merintangi sel-sel di sekelilingnya,
sehingga memperkuat kesan terhadap kontur (Solso, Maclin, & Maclin, 2007) .
2.3 Teori Gestalt
Para penganut psikologi Gestalt hanya mempelajari cara
mengorganisasi dan mengklasifikasi stimuli. Organisasi pola bagi mereka
melibatkan kerja sama seluruh stimuli dalam menghasilkan sebuah kesan yang
melampaui gabungan seluruh sensasi. Beberapa pola stimuli tampaknya
diorganisasikan secara natural atau spontan, menurut Max Wertheimer (1923).
Manusia membentuk ilusi-ilusi subjektif karena adanya tendensi untuk melihat
figure-figur sederhana dan familiar dalam wujud yang baik, utuh, lengkap di
lingkungan kita. Gagasan ini dikenal sebagai hukum Pragnanz dan menjadi
hukum utama persepsi Gestalt (Solso, Maclin, & Maclin, 2007) .
Beberapa hukum Gestalt yang lain meliputi hukum keterdekatan (law
of proximity), hukum kesamaan (law of similarity), hukum kontinuitas
(law of continuity), dan hukum nasib bersama (law of common fate).
Sebuah pengembangan gagasan para psikolog Gestalt
terlihat dalam hasil studi mengenai perspektif kanonik. Perspektif Kanonik adalah
sudut pandang terbaik untuk menggambarkan suatu objek atau citra yang muncul di
pikiran saat kita mengingat suatu bentuk. Jika kita diminta memikirkan sebuah
cangkir, maka gambaran yang muncul dalam benak kita adalah gambaran cangkir
yang lazim, bukan gambaran yang tidka lazim seperti cangkir yang terlihat dari
atas. Representasi kanonik dibentuk melalui pengalaman dengan anggota-anggota
sejenis dari suatu kategor, atau disebut exemplar (Solso, Maclin, & Maclin, 2007) .
2.4 Pemrosesan Bottom-Up
dan Pemrosesan Top-Down
Teori pemrosesan bottom-up adalah teori yang mengajukan gagasan
bahwa proses pengenalan diawali oleh identifikasi terhadap bagian-bagian
spesifik dari suatu pola, yang menjadi landasan bagi pengenalan pola secara
keseluruhan. Contoh: Jika ada seseorang, kita akan mengenalinya dari bagiannya
dari suara, postur, cara berjalan dan lain-lain, sehingga kita tahu itu adalah
si A. Sedangkan teori pemrosesan top-down adalah teori yang mengajukan gagasan
bahwa proses pengenalan diawali oleh suatu hipotesis mengenai identitas suatu
pola, yang diikuti oleh pengenalan terhadap bagian-bagian pola tersebut,
berdasarkan asumsi yang sebelumnya telah dibuat. Contoh: kita tahu si B itu
karena suaranya, postur, cara berjalan dan lain-lain.
Meskipun
tampilan tersebut dapat di kenali apabila tampilan di lengkapi dengan dengan
informasi yang jelas dan detail. Namun bagian-bagaian tersebut menjadi konteks
yang jelas bila di tempatkan dalam sesuatu yang sudah jelas pula polanya.
Menurut palmer (Solso, Maclin, & Maclin, 2007) apabila
dalam pemrosesan, seseorang hanya menggunakan model pemrosesan buttom-up atau
top-down saja, maka akan muncul yang namanya parsing paradox, yaitu
kesulitan-kesulitan yang di jumpai ketika dalam pemrosesan, seseorang hanya menggunakan
pemrosesan buttom-up atau to-down saja.
Palmer (1975)
menyatakan bahwa dalam sebagian besar situasi, interpretasi terhadap
bagian-bagian dan keseluruhan pola terjadi secara bersamaan
antara bottom-up dan top-down. Palmer mencontohkan dalam pengenalan
bagian-bagian suatu wajah dengan konteks dan tanpa konteks, bagian-bagian wajah
dapat dikenali dengan mudah ketika ditempatkan dalam konteks yang tepat, dan
bagian-bagian wajah menjadi bentuk yang ambigu ketika ditempatkan
sendiri-sendiri, meskipun dapat dikenali ketika bagian-bagian wajah tersebut
diperlengkapi dengan lebih banyak informasi yang detail. Oleh karena itu,
keduanya tidak terpisah melainkan dapat terjadi secara bersamaan. Sehingga
dapat memunculkan objek-objek yang sudah sering kita jumpai, menjadi lebih
mudah kita kenal.
Kita memiliki
ekspektasi untuk melihat objek-objek tertentu dalam beragam konteks, seperti
sebuah stetoskop di ruang praktek seorang dokter, peralatan memasak di sebuah
dapur, sebuah computer di dalam kantor, dan sebuah hidran di pinggir jalan,
pengenalan tentang dunia inilah yang memudahkan identifikasi terhadap
objek-objek dalam konteks yang familiar dan sebaliknya mengahmbat pengenalan
objek dalam konteks yang janggal. Beberapa penilitian terhadap “efek konteks” yang
dilakukan oleh Biederman dan rekan-rekan menunjukkan bahwa ketika seseorang
mencari objek-objek dalam dunia nyata (misalnya objek dalam konteks kampus atau
konteks jalan raya), maka pengenalan, keakuratan, dan jumlah waktu yang
diperlukan untuk mengidentifikasi objek berhubungan langsung dengan kecocokan
atau kelaziman lokasi objek dalam konteks tersebut.
Berdasarkan studi-studi tersebut dan
studi-studi serupa yang mempelajari identifikasi kata dan huruf dalam konteks,
jelaslah bahwa persepsi terhadap objek sangat dipengaruhi oleh ekspektasi
seseorang terhadap konteks.
2.5 Pencocokan Template
Sebuah teori mula-mula tentang cara
otak mengenali pola dan objek disebut teori pencocokan template. Sebuah
template, dalam konteks pengenalan pola pada mausia merujuk pada suatu konstruk
internal yang ketika dicocokkan dengan stimuli sensorik, menyebabkan terjadinya
pengenalan terhadap objek. Teori ini dapat kita analogikan dengan lubang kunci
yang dimasuki kunci yang tepat. Dengan demikian, prosesnya terjadi seperti ini
: energi cahaya yang dipantulkan oleh bentuk tersebut diterima retina dan
ditransduksi ke energi neural yang dikirim ke otak. Otak melakukan pencarian
dalam arsip template untuk mencari template yang cocok dengan pola neural yang
diterima. Jika template itu cocok dengan pola neural, orang akan mengenali pola
atau objek tersebut (Solso, Maclin, & Maclin, 2007) .
Teori pencocokan template, memiliki kekuatan
dan kelemahan. Kekuatannya, jelaslah bahwa agar kita mampu mengenali suatu
bentuk atau pola, kita terlebih dahulu perlu melakukan pembandingan stimuli
visual tersebut dengan suatu bentuk internal yang tersimpan dalam memori. Kelemahannya
adalah suatu interpretasi harfiah dari teori pencocokan template akan
menghadapi suatu kesulitan. Andaikata pengenalan terhadap objek hanya terjadi
ketika objek eksternal diidentifikasikan 1:1 persis sama dengan representasi
internal, maka jika ada sedikit saja perbedaan, objek tersebut tidak akan dikenali.
Jika demikian, otak harus menyimpan jutaan template agar kita dapat mengenali
objek-objek yang beranekaragam di dunia ini (Solso, Maclin, & Maclin, 2007) .
Sebuah alternatif untuk mengatasi
kekakuan teori pencocokan template adalah sebuah teori yang mempostulatkan
bahwa sistem pemrosesan informasi manusia memiliki sejumlah bentuk geometric
sederhana yang terbatas, yang dapat diaplikasikan pada bentuk-bentuk yang
rumit. Teori ini disebut dengan teori Geon, yang merupakan kependekan
dari geometrical ions. Teori tersebut mengajukan gagasan bahwa seluruh
bentuk-bentuk yang kompleks tersusun dari geon-geon.
Pemahaman mengenai pengenalan objek
diupayakan melalui dua pendekatan. Sebuah pendekatan berfokus pada penjelasan domain-general,
yakni penjelasan yang menyatakan bahwa otak dan sistem kognitif memiliki
proses-proses umum untuk mengenal sejumlah besar kategori objek. Pendekatan
lain berfokus pada penjelasan domain-spesific, yakni penjelasan yang
menyatakan bahwa otak dan sistem kognitif memiliki sistem-sistem fungsional
yang berperan dalam pengenalan kategori objek yang spesifik dan khusus (Solso, Maclin, & Maclin, 2007) .
2.6
Analisis Fitur
Sebuah pendekatan terhadap problem
bagaimana kita menyaring informasi dari stimuli rumit disebut pendekatan analisis
fitur. Teori ini menyatakan bahwa pengenalan objek merupakan pemrosesan
informasi tingkat tinggi yang didahului oleh pengidentifikasian stimuli
kompleks yang masuk ke retina sesuai dengan fitur-fitur yang lebih sederhana.
Menurut pendekatan ini, sebelum kita memahami keseluruhan pola informasi
visual, kita mereduksi dan menganalisis komponen-komponen informasi visual.
Sebuah kata PANAH tidak serta-merta diubah menjadi representasi atau
visual dalam memori kita, misalnya sebuah batang yang berujung tajam yang
ditembakkan dari sebuah busur, tidak pula kata tersebut kit abaca “panah”, atau
kita persepsikan huruf per huruf (P-A-N-A-H). Akan tetapi, kita mendeteksi dan
menganalisis fitur-fitur atau komponen-komponen dari masing-masing huruf. Huruf
A bisa kita pecah menjadi dua garis diagonal (/ \), sebuah garis horizontal
(-), sebuah ujung bersudut (^), dan seterusnya. Jika proses pengenalan terjadi
berdasarkan analisis fitur, maka tahap-tahap paling awal dalam pemrosesan
informasi sesungguhnya jauh lebih kompleks daripada yang sebelumnya kita
perkirakan (Solso, Maclin, & Maclin, 2007) .
Sebuah pendekatan langsung dalam analisis
fitur adalah pengamatan terhadap pergerakan dan fiksasi mata. Jenis penelitian
ini mengasumsikan bahwa mata membuat gerakan sakadik (gerakan mata yang
meloncat dari satu titik fiksasi/tatapan ke titik fiksasi lainnya) yang
berhubungan dengan informasi visual yang diindera. Diasumsikan bahwa ketika
kita memandang suatu fitur dalam pola tertentu dalam jangka waktu relatif lama,
kita akan memperoleh semakin banyak informasi dibandingkan apabila kita hanya
mengamati fitur itu sekilas. Persepsi terhadap fitur dalam pola-pola yang
kompleks tampaknya tidak hanya bergantung pada hakikat stimuli fisik, namun
juga melibatkan proses-proses kognitif tingkat tinggi, seperti atensi dan
sasaran (Solso, Maclin, & Maclin, 2007) .
2.7
Pencocokan Prototipe
Teori lain yang turut menjelaskan
pengenalan objek adalah teori pencocokan prototipe. Diasumsikan bahwa,
alih-alih membentuk template yang spesifik atau bahkan membentuk fitur-fitur
berbagai ragam pola yang harus kita identifikasikan, kita menyimpan sejumlah
jenis pola-pola abstraksi dalam memori, dan jika terdapat kesamaan antara
keduanya, pola tersebut akan dikenali. Pencocokan prototipe memungkinkan
pengenalan pola-pola yang tidak lazim namun tetap memiliki hubungan dengan
prototipe. Terdapat banyak bukti di sekeliling kita yang mendukung konsep
pencocokan prototipe. Kita mengenali sebuah mobil Volkswagen, meskipun mobil
bermerek sama memiliki warna atau pernak-pernik yang berbeda-beda (Solso, Maclin, & Maclin, 2007) .
Pencocokan template dapat terjadi
pada suatu tahap pengenalan/identifikasi visual, namun pada tahap yang lain,
kita mungkin menggunakan pencocokan prototipe. Gagasan ini menyatakan bahwa
suatu prototipe adalah sebuah abstraksi dari suatu rangkaian stimuli yang
mencakup sejumlah besar bentuk-bentuk serupa dari pola yang sama. Sebuah
prototipe memungkinkan kita mengenali suatu pola sekalipun pola tersebut tidak
identik dengan prototipe yang bersangkutan. Sebagai contoh, kita mengenali
berbagai ragam huruf S, bukan hanya karena berbagai variasi huruf S tersebut
cocok dengan lubang kunci (template/prototipe) dalam memori kita, namun juga
karena beragam jenis huruf S tersebut memiliki karakteristik-karakteristik yang
sama (Solso, Maclin, & Maclin, 2007) .
Solso dan McCarthy dalam sebuah
eksperimen menemukan bahwa para partisipan kerap kali melakukan suatu
kekeliruan, yakni mengenali prototipe sebagai suatu bentuk stimulus yang pernah
ditampilkan sebelumnya (padahal prototipe belum pernah ditampilkan sebelumnya).
Bahkan para partisipan merasa lebih yakin dibandingkan saat mereka
mengidentifikasi bentuk-bentuk yang memang sudah pernah mereka lihat
sebelumnya. Fenomena ini disebut pseudomemori atau memori semu. Solso dan
McCarthy mengajukan hipotesis bahwa sebuah prototipe dibentuk berdasarkan
fitur-fitur yang sering dijumpai partisipan. Secara umum, kekuatan memori dalam
mengingat fitur ditentukan oleh frekuensi pemaparan terhadap fitur yang bersangkutan.
Pada umumnya, fitur-fitur yang lazim dijumpai disimpan secara permanen dalam
memori dibandingkan fitur-fitur yang jarang dijumpai (Solso, Maclin, & Maclin, 2007) .
Sejumlah eksperimen pada akhirnya
memunculkan dua teori tentang pembentukan prototipe, yaitu teori tendensi
sentral dan teori frekuensi atribut. Teori tendensi sentral menyatakan bahwa sebuah
prototipe dikonseptualisasikan mewakili rata-rata suatu set eksemplar.
Prototipe adalah suatu abstraksi yang tersimpan dalam memori yang mewakili
tendensi sentral dari kategori yang bersangkutan. Teori frekuensi atribut
menunjukkan gagasan bahwa sebuah prototipe mewakili mode atau kombinasi
atribut-atribut yang paling sering dialami seseorang. Setiap kali seseorang
mengamati suatu pola, orang itu merekam fitur sekaligus pola beserta hubungan
antara tiap-tiap fitur (Solso, Maclin, & Maclin, 2007) .
2.8
Pengenalan Pola pada Para Pakar
Sejauh ini kita mempelajari tampilan
perseptual yang sederhana. Bagaimana kita mempelajari pola-pola yang lebih
rumit? Chase dan Simon mempelajari problem ini dengan menganalisis pola rumit
yang dihasilkan buah-buah catur di atas sebuah papan catur. Selain itu, para
peneliti tersebut menganalisis perbedaan antara maestro-maestro catur dengan
para pemain amatir. Dalam studi tersebut, pola tersusun dari kumpulan sejumlah
objek, bukan fitur. Secara intuitif, kita mengetahui bahwa bahwa perbedaan
kognitif antara seorang maestro catur dengan seorang amatir terletak pada
seberapa banyak langkah yang dapat direncanakan seorang maestro dibandingkan
seorang amatir. Intuisi tersebut ternyata keliru. Para maestro dan para pemain
amatir merencanakan kemungkinan mempertimbangkan jumlah langkah yang sama, dan
menjalani proses pencarian yang serupa terhadap berbagai pola langkah buah
catur. Para pemain professional bahkan mempertimbangkan langkah alternative
yang lebih sedikit, sedangkan para pemain amatir membuang-buang waktu dengan
mempertimbangkan alternatif-alternatif yang sama sekali tidak tepat.
Apa perbedaannya? Salah satu
perbedaannya terletak pada kemampuan seorang maestro untuk merekonstruksi pola
buah-buah catur dalam pikirannya, hanya dengan mengamati papan catur seama
beberapa detik, sedangkan pemain amatir mengalami kesulitan melakukan hal
serupa. Para pakar catur memiliki kemampuan yang lebih besar untuk mereproduksi
pola karena mereka mampu menyandikan posisi buah-buah catur menjadi satu bagan
utuh (Solso, Maclin, & Maclin, 2007) .
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Teori-teori
perseptual menjelaskan bagaimana suatu informasi sensorik yang diterima oleh
panca indera kita diolah menjadi suatu persepsi. Teori ini terdiri dari
perseptual kontruktif dan perseptual langsung. Kemudian ada pula yang disebut
dengan teori pengenalan pola visual yakni bertujuan agar sistem
kognisi-sensorik kita menggunakan informasi parsial untuk membangun
bentuk-bentuk dalam upaya memahami dunia fisik yang tampak tidak beraturan. Teori
lainnya yakni yang mempelajari cara mengorganisasi dan mengklasifikasi stimuli merupakan
teori Gestalt.
Teori
pemrosesan bottom-up adalah teori yang mengajukan gagasan bahwa proses
pengenalan diawali oleh identifikasi terhadap bagian-bagian spesifik dari suatu
pola, yang menjadi landasan bagi pengenalan pola secara keseluruhan. Sebuah
teori mula-mula tentang cara otak mengenali pola dan objek disebut teori pencocokan
template. Sedangkan pendekatan terhadap problem bagaimana kita menyaring
informasi dari stimuli rumit disebut pendekatan analisis fitur. Berbeda lagi
dengan pengenalan pola para pakar, karna teori ini memahami pola-pola yang
lebih rumit dari lainnya.
3.2
Saran
Dalam menulis makalah ini, penulis
sangat menyadari masih banyak terdapat kekurangan. Salah satunya adalah dalam
hal sumber penulisan. Selain itu, bahasa yang digunakan penulis sangat
memungkinkan kurang dipahami pembaca. Sehingga, penulis menyarankan untuk
kepenulisan selanjutnya agar lebih menambah sumber penulisan dan membuat
contoh-contoh yang lebih dapat diterima dan dipahami oleh pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Solso, R. L., Maclin, O. H., & Maclin, M. K.
(2007). Psikologi Kognitif. Jakarta: Erlangga.
Gazzaniga, M., S, R. I., & Mangun, G. R.
(2009). Cognitive Neuroscience: The Biological of The Mind. London:
W.W. Norton & Company Ltd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar